[caption id="attachment_358777" align="aligncenter" width="620" caption="Melihat dan menyentuh kesegaran sayuran yang masih menyisakan aroma tanah dari kebun adalah sesuatu yang "][/caption]
Menggagas Persahabatan Daud dan Jalut
Diantara bau amis ikan, percikan air, bau sampah dan lantai keramik yang basah - yang tentu saja licin - ada transaksi, tegur sapa dan silaturrahim khas masyarakat Indonesia yang sejak zaman dahulu kala memang dikenal peramah dan senang berinteraksi. Itulah salah satu hal yang istilahnya ngangeni dari sebuah ruang interaksi publik yang disebut pasar rakyat.
Ada sekitar 30 juta penduduk Indonesia yang menurut sumber ini hidupnya tergantung pada keberadaan pasar rakyat. Namun ironisnya kata sumber yang sama, dalam tiga tahun terakhir sedikitya 3000 pasar rakyat gulung tikar yang penyebabnya tentu sudah bisa ditebak, gagal bersaing dengan pasar ritel moderen yang menawarkan berbagai kelebihan dibanding pasar rakyat yang selalu dikesankan kotor, jorok, becek, semrawut dan tentu saja tidak nyaman.
Bagi sebahagian orang, terberangusnya pasar rakyat itu tidak menjadi masalah sejauh fungsinya bisa digantikan oleh ruang transaksi lainnya, apalagi lebih nyaman seperti hyper market, super market, midi market hingga mini market yang menjamur di hampir seluruh pelosok negeri ini.
Tetapi tidak bagi mereka yang menyebut diri “pendekar ekonomi kerakyatan”. Mereka melihat fenomena ini sebagai pertarungan pelaku ekonomi yang tidak adil. Mereka menggambarkannya di kepala seperti pertarungan antara David dan si raksasa Goliath, tapi dalam versi yang mengenaskan dimana David sepertinya tertatih-tatih dan menghiba-hiba menghadapi si raksasa Goliath yang makin ganas serangannya.
Kalau David tidak segera bangkit memperlihatkan kepiawaian bermain pedang dan tombaknya yang mumpuni, bisa dipastikan pertarungan akan berakhir mengenaskan. David kalah... hikz. Sejarah harus dirubah ternyata raksasa itu hebat, tidak seperti cerita David atau Daud dalam legenda religi dimana dengan perkasa Daud berhasil mengalahkan Goliath atau Jalut sang raksasa.
Saya juga pro ekonomi kerakyatan, artinya saya tidak mau melihat Daud yang merepresentasikan pasar rakyat yang lemah kalah bertempur melawan pasar ritel moderen yang diwakili oleh sosok Jalut atau Goliath sang raksasa. Tapi saya juga sebenarnya tidak suka dengan ide bahwa sekali waktu pasar rakyat akan mengalahkan bisnis pasar ritel moderen. Saya akan jauh lebih tidak suka membayangkan Daud tetap hidup karena menghiba-hiba belas kasihan dari si raksasa Jalut. Bagaimanapun Daud harus mempertahankan dignity atau harga dirinya.
Oleh karenanya saya menuliskan gagasan ini untuk urunan ide bagaimana sebaiknya membangkitkan pasar rakyat secara elegan agar tumbuh besar berdampingan saling melengkapi dengan ritel moderen, dan kalau harus bersaing, maka bersaingnya secara elegan.Tidak ada yang harus tumbang salah satunya. David dan Goliath bisa berteman, saling membantu, saling melengkapi dan saling membanggakan.Intinya bukan David vs Goliath tetapi David dan Goliath.
David bisa membantu Goliath melihat duri-duri kecil yang tak bisa terlihat oleh mata raksasa agar tidak melukai Goliath dalam perjalanan mereka. Goliath juga bisa membantu David melihat tempat yang lebih tinggi dan jauh dengan sesekali menaikkan David ke punggungnya. Itulah bentuk kemitraan dunia bisnis yang lebih beradab sebagaimana ditulis seorang Professor ekonomi Korea Selatan, W. Chan Kim dan rekannya dari Perancis Renee Mauborgne dalam buku Blue Ocean Strategy.
Bagi Kim, persaingan dan pertarungan bisnis yang berdarah-darah bukanlah harga mati yang harus selalu dilewati karena itu adalah pilihan. Ini hanya urusan strategi dimana persaingan keras di laut merah (red ocean) adalah pilihan cepat sebagaimana yang banyak dilakoni pebisnis dewasa ini. Kalau mau berpikir lebih dalam sedikit, pasti akan selalu tersedia cara dan strategi berbisnis yang tidak harus selalu saling mematikan untuk eksis. Tawaran berbisnis di laut biru yang luas (blue ocean) - maaf ini bukan maksudnya berbisnis hasil laut - adalah bentuk kearifan berbisnis yan mengakui kekurangan dan kelebihan masing-masing dan berusaha saling melengkapi agar dapat tumbuh bersama.
Makanya saya sangat menyukai sebuah gagasan besar yang selalu ada di kepala saya bahwa untuk membangun pasar rakyat yang tangguh tidak hanya bisa melibatkan tanggungjawab sosial perusahaan ritel moderen seperto Super-Indo, Hero, Giant, Carrefour, Tesco, Kemchick, Indomart, Alfamart dan sebagainya, melainkan juga tanggungjawab ekonomi untuk memberikan ruang tumbuh bagi entitas ekonomi lainnya.
Suatu Pagi di Pasar Rakyat
“Koq minggu lalu gak beli ikan, mas?” Sapa si Bapak penjual ikan sembari tangannya sibuk membersihkan dua kilo ikan kembung dan sekilo ikan ekor kuning pesanan saya dengan sangat cekatan.
“Dari luar kota mas beberapa hari, jadinya ikan di kulkas masih tersisa,” jawab saya membalas perhatian si Bapak yang meskipun kami sudah berinteraksi hampir dua tahun di pasar ini sebagai penjual dan pembeli tetapi tidak saling tahu nama.
Ia sudah tahu ikan kegemaran saya termasuk cara memotong dan berapa potongan dari sejumlah jenis ikan yang biasa saya beli. Ia bisa dengan tulus mengingatkan saya kalau ikannya agak kurang segar untuk dimasak tetapi tidak masalah bila digoreng. Ia juga terbiasa mengomentari berbagai isu hangat di masyarakat, sebutlah soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bursa calon presiden, kelakuan politisi yang baik dan bahlul atau siapa saja dan apa saja.
Saya pun bebas mengemukakan pendapat pribadi saya kepadanya tanpa harus menimbang posisi politik atau kecenderungan pendiriannya. Tidak ada aturan apakah dia harus setuju dengan pendapat saya atau tidak. Diskusi berakhir begitu saja begitu belanjaan sudah di tangan saya dan dia telah menerima pembayaran.
Dalam hal harga,saya tak lagi menawar seperti di awal-awal saya berbelanja di tempat dia. Ketika dia sudah mengemas ikan pesanan saya ke dalam kantong plastik, ia tinggal meraih kalkulator lusuhnya dan menyebutkan angka yang harus saya bayar. Saya beberapa kali berhutang karena uang tunai yang saya bawa tidak cukup. Maklum di pasar rakyat semua transaksi harus cash, tetapi kalau uang kebetulan tak cukup, bisa diutang dulu. Kepercayaan dan kemudahan seperti ini hanya mungkin ditemui di pasar rakyat.
Cerita saya adalah contoh perilaku khas laki-laki yang berbelanja di pasar rakyat. Perlu saya ingatkan karena perempuan juga punya ciri dan perilaku khas saat berbelanja yang berbeda dengan laki-laki. Mungkin juga perilaku dan pendapat saya tidak mewakili laki-laki pada umumnya, saya hanya bercerita tentang pasar rakyat sebatas yang saya ketahui dan gagasan yang ada di kepala saya untuk pengembangan pasar rakyat ke depan.
Bagi istri saya, dan saya juga melihatnya pada kebanyakan perempuan, menawar bukan sekedar hak tetapi kewajiban. Kalau hak masih bisa tidak diambil sewaktu-waktu alias tidak menawar. Tetapi bagi istri saya sepertinya menawar wajib dilakukan, meski lebih sering kandas oleh satu ucapan penjual yang lebih terdengar seperti mantera: “Udah harga langganan itu Bu!”
Meski ribuan kali mendengarnya tapi saya tidak pernah bosan mendengar tawar menawar khas pasar rakyat itu, lagi dan lagi. Unsur humanisme yang mempertautkan penjual dan pembeli merupakan pondasi kekerabatan sosial yang seharusnya menjadi kekayaan yang dipelihara dan ditunjukkan kepada generasi muda yang mungkin mulai gagap wacana pasar rakyat di tengah transaksi ekonomi yang semakin liberal.
Pasar rakyat menyimpan beragam keunikan. Tempat dimana pembeli bisa mencari tahu penyebab kenaikan harga cabe, bawang, minyak goreng dan lain-lain langsung dari penjualnya. Pembeli bisa bertanya, berdiskusi bahkan ngedumel sambil memilih buah, ikan atau sayuran. Suatu keunikan, keindahan dan kemewahan bertransaksi yang kadang luput dari perhatian tetapi sebenarnya telah menjadi ruh dari eksistensi pasar rakyat yang lebih sering disebut sebagai pasar tradisional karena memang ada tradisi di dalamnya.
Oleh karena itu, merevitalisasi pasar-pasar rakyat yang masih ada dan hidup di tengah masyarakat bukan semata untuk mempertahankan sebuah entitas ekonomi di tengah derap langkah zaman yang makin moderen, melainkan bagian dari upaya memelihara dan tetap menghidupkan sebuah peradaban ekonomi rakyat yang sarat dengan pembelajaran.
Saya sangat suka membawa anak-anak ke pasar rakyat agar mereka bisa melihat dan mengalami bagaimana berbelanja sambil bertegur sapa dengan penjual. Mereka juga harus melihat bagaimana proses tawar menawar, sesuatu yang tak lagi bisa dirasakan di super market. Anak-anak mendapatkan pengetahuan bagaimana memilih sayur atau ikan yang segar sambil melihat kesederhanaan dalam sosok dan tampilan para pedagang pasar yang murah senyum.
Atasi Becek dan Bau
“Iya sih, sering kangen juga ke pasar rakyat, tapi becek dan baunya itu lho yang gak nahan,” ujar mertua saya ketika kami ajak ke pasar Cikunir, Bekasi, sebuah pasar rakyat yang kebetulan berada di dekat gerbang kompleks tetangga kompleks kami di bilangan kawasan Jatibening.
Karena faktor usia dan pertimbangan agar lebih praktis, mertua perempuan saya memang lebih suka ke super market untuk berbelanja kebutuhannya karena kebetulan hanya tinggal sendiri di rumahnya. Akan halnya saya dan istri, karena harus membeli kebutuhan sehari-sehari untuk kebutuhan seminggu, kami lebih suka berbelanja ke pasar rakyat dan menyimpannya di lemari pendingin. Berbelanja di Super Market hanya bila kebetulan ada yang tak sempat terbeli saat berbelanja di pasar rakyat.
Karena paham situasi pasar rakyat yang memang biasanya bau dan becek, kami memilih ke pasar pada pagi hari saat pengunjung belum banyak yang datang. Ya sekitar jam 06 hingga 07 pagi. Ikan, sayuran dan buah juga masih segar karena baru dibawa oleh penjual dari pusat bongkar muat di bilangan pasar Kranji, Bekasi Barat, berjarak sekitar 5 km dari pasar rakyat tempat kami berbelanja.
Dibanding pasar Kranji, pasar Cikunir kondisinya lebih baik karena bangunannya agak permanen. Memang sampah sayuran yang busuk, ampas kelapa sisa perasan santan dan sampah berpotensi busuk lainnya biasanya sudah tidak sempat diangkut menjelang siang hari saat pengunjung makin banyak. Itu terlihat di kedua pasar rakyat Cikunir dan Kranji. Kebecekan di pasar Cikunir sendiri selain yang saya sebutkan tadi, juga dari air kelapa dan air rendaman tahu atau air yang dipercikkan penjual ke sayuran, buah atau ikan mereka yang terpajang di atas sebentuk meja yang terbuat dari beton berbungkus keramik putih.
Di tempat penjualan ikan dan daging memang sepertinya sudah sangat dimaklumi kalau becek. Tetapi untuk tempat jualan sayur, buah, penganan, bumbu jualan kering lainnya seharusnya bisa kering. Mungkin karena perpindahan orang dari tempat basah ikut memindahkan kebecekan kemana-mana.
Menghilangkan stigma kurang bersih ini yang memang seharusnya menjadi tujuan utama renovasi pasar rakyat. Namun jangan sampai dibiarkan renovasi fisik berjalan sendiri tanpa dibarengi dengan revolusi mental para pedagang agar merubah kebiasaan buruk menumpuk sampah dan bermain air di tempat jualan mereka. Karena kenyataannya, meskipun sejumlah pasar rakyat sudah direnovasi tetapi seiring berjalannya waktu kebecekan biasanya terjadi lagi akibat kebiasaan lama yang tidak hilang.
Untuk menghindari penumpukan barang di tempat pajangan atau tempat transaksi berlangsung, akan jauh lebih baik bila ada satu bangunan khusus berpendingin yang bisa membuat sayuran, buah, daging dan sejenisnya tersimpan lebih lama dan terjaga higienitasnya. Jadi pedagang hanya mengambil dagangan yang akan dipajang dan dijual sementara sisanya atau stock disimpan di tempat berpendingin.
Keuntungan dengan adanya tempat khusus berpendingin ini, selain akan memberikan kesempatan lebih panjang bagi barang dagangan dipertahankan kesegarannya, juga akan memungkinkan pasar tetap terjaga kebersihannya sampai sore bahkan malam hari. Apalagi di kota besar, tidak semua orang berkesempatan mampir ke pasar pada pagi hari, sehingga pangsa pasar sore hari umumnya direbut oleh Super Market karena pasar rakyat tak sanggup mempertahankan kesegaran dan kebersihan dari pagi hingga malam hari. [Bersambung] - [@bens_369]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H