Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bu Susi, You Are Our Princess of Warrior

22 Januari 2015   23:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:34 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_365683" align="aligncenter" width="618" caption="Susi Pudjiastuti yang sering dipandang sebagai sosok pahlawan di kalangan nelayan dan masyarakat Pangandaran Jawa Barat, kini didaulat menjadi prajurit (the warrior) di Kabinet Jokowi - JK untuk membangkitkan kelautan dan perikanan Indonesia untuk benar-benar mandiri dan berdaulat | Ilustrasi : www.statiktempo.co."][/caption]

Laut itu panjang, luas, dalam dan sedikit misterius. Itu istilah yang sering kami gunakan di antara para pekerja sosial yang bergerak di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Mengapa kita perlukan kesepahaman itu? Karena tidak semua pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berlatar belakang ilmu perikanan dan kelautan.

Diantara rekan-rekan saya ada yang berlatar sarjana Sastra Arab, Antropologi, Sosial Politik, Pertanian, Hukum Teknik bahkan jurusan Syariah dari Institut Agama Islam Negeri (sekarang: Universitas Islam Negeri).

Makanya kita bisa membicarakan urusa laut dari sisi budaya sampai berbuih-buih laksana buih ombak melahirkan istilah Budaya Maritim. Kawan saya yang dari jurusan Syariah UIN mampu melahirkan sejumlah serial dakwah yang berisi ayat-ayat yang meminta manusia berperilaku amanah menjaga sumberdaya pesisir dan laut.

Yang dari jurusan sosial politik bahkan mampu menggalang kekuatan masyarakat sehingga melahirkan gerakan rutin seluruh unsur masyarakat dari pejabat, mahasiswa hingga jelata turun ke laut melakukan pembersihan sampah. Ia menyebut gerakan itu RAMA SINTA singkatan dari Gerakan Masyarakat Bersihkan Pantai.

Saya tidak perlu menyebut nama secara spesifik para pelakunya. Sebahagian sekarang ada di jajaran puncak pemerintahan, sebahagian di lembaga legislatif, pengusaha sukses jurnalis kondang dan juga bahkan ada pemilik Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Saya sendiri kerjanya membuat penyuluhan budidaya rumput laut, teripang laut dan mengkampanyekan pelestarian terumbu karang. Sayalah sebenarnya yang berlatar belakang ilmu perikanan dengan pengkhususan manajemen sumberdaya pesisir. Tetapi gelar Insinyur yang tersemat di depan nama saya sering mengecoh orang menganggap saya sebagai sarjana teknik sipil, apalagi saat menjabat sebagai salah satu Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah (LPJKD).

Cerita di atas settingnya sekitar 20 tahun lalu bahkan lebih. Pencurian ikan oleh kapal asing memang sudah marak. Bahkan saya secara pribadi pernah mengunjungi satu kawasan pelabuhan perikanan di Thailand bersama sejumlah Kepala Daerah, pejabat dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap, Dirjen Pembangunan Daerah (Bangda) dan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kala itu posisi saya sebagai Pimpinan Proyek Rehabilitasi dan Pengelolan Terumbu Karang (Coremap I).

Dalam perjalanan kami dari Kuala lumpur meggunakan bus melewati perbatasan Malaysia – Thailand atau perbatasan kota Kuala Trengganu denganHat Yai – Sebelum sampai ke Pattaya tetapi sudah melewati Hat Yai, ada sebuah pelabuhan perikanan berbentuk teluk bernama Pattani. Ini juga satu propinsi sendiri. Di situ kami hanya bisa ternganga dan setelahnya tercenung melihat begitu banyaknya kapal penangkap ikan dengan nama-nama Indonesia.

Yang saya sempat ingat, sejumlah nama kapal yakni: Bintang Timur, Cahaya Selatan, Sinar Bahagia, Bintang Kejora dan banyak nama lainnya. Itu baru satu titik diantara sekian puluh pelabuhan perikanan di negeri gajah putih itu.

Tak ada kemarahan apalagi gairah mempertanyakan mengapa kapal-kapal bertonase rata-rata sekitar 300 gross ton itu bernama lambung Indonesia. Mengawasi penggunaan pukat harimau saja atau biasa disebut trawl, aparat kita belum kober, belum lagi pemboman ikan, pengrusakan eksostem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan sebagainya.

Kami tahu dan sadar bahwa kami sebenarnya masuk ke sarang maling, tapi tak berani berpikir macam-macam, padahal kami juga bukan perawan di sarang penyamun karena saya yakin kami semua sudah bukan perawan. Ada nyali yang ciut, pesismisme yang merebak atau mungkin nasionalisme yang ala kadarnya.

Membayangkan kapal-kapal itu dipergoki lalu ditangkap saat menangkap ikan di perairan Indonesia, sulit membayangkannya. Mungkin karena tak tahu siapa yang harus berada di garda depan. Dirjen perikanan tak punya kapal patroli, paling beberapa kapal latih penangkapan ikan dan kapal penelitian yang tak mungkin dijajal larinya dengan kapal penangkap ikan asing yang rata-rata sangat kencang.

Beraharap dari Kapal Angkatan Laut, bukannya kami tak mengandalkan mereka, tetapi kami lebih memlih berempati membayangkan betapa susahnya mereka mendapatkan biaya untuk sekedar melakukan patroli rutin. Bayangkan saja kalau uang layar per hari ABK hanya rp. 1.750 atau kira-kira setara dengan biaya sekali makan sehari.

Waktu itu belum terbayang bisa memanfaatkan satelit dan radar untuk memantau pergerakan kapal-kapal asing di seluruh wilayah perairan Indonesia. Foto udara saja yang bisanya saya beli Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk maksud pembuatan peta digital disamping harganya mahal tidak real time. Hanya diambil dari foto udara yang diambil untuk peruntukan lain.

Saya yakin Susi Pudjiastuti waktu itu sudah ada. Setidaknya telah menjadi pengepul ikan di pantai pangandaran, Jawa Barat. Saya juga yakin bahwa kala itu laut kita sudah dijarah rama-ramai oleh nelayan asing dari berbagai negara, tetapi eperti diri saya, hanya bisa mengurut dada dan menyimpan bara dendam.

Saya bisa membayangkan bentrokan kepentingan Susi yang kemudian menanjak usahanya menjadi penangkap dan eksportir hasil laut. Hasil tangkapan yang makin kecil, jarak penangkapan ikan yang makin jauh dari pantai, tangkapan per unit alat tangkap (catch per unit efforts) yang makin merosot adalah sebahagian tanda-tanda penurunan potensi kelautan kita sejak 20 bahkan 30 tahun lalu.

Susi menemukan faktanya di lapangan, saya menganalisisnya melalui penelitian. Saya prihatin, tetapi saya yakin Susi Pudjiastuti dan kawan-kawannya para nelayan dendam setengah mati karena mereka tahu siapa pelakunya.

Kini, Susi Pudjiastuti didapuk menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan oleh Presiden Joko Widodo. Pasti Presiden sudah tahu apa yang akan terjadi bila memberikan pekerjaan kepada orang yang pernah bergelut di jantung masalah perikanan laut di negeri ini – maaf, saya menyebut perikanan laut karena kita juga punya perikanan darat lho yang belum tersentuh perhatian the Princess Warrior kita itu.

Jadi kalau sekedar meledakkan kapal nelayan asing yang ditangkap, saya masih menyebutnya hal wajar dilakukan oleh seorang Susi Pudjiastuti. Melakukan moratorium kapal perikanan di atas 300 ton juga masih biasa-biasa.

[caption id="attachment_365691" align="aligncenter" width="618" caption="Pemandangan kapal-kapal nelayan yang mangkal di pelabuhan Pattani, Thailand. Tak sedikit yang menggunakan nama-nama lambung berbahasa Indonesia. | foto: www.bangkokpost.com"]

1421917285645511643
1421917285645511643
[/caption]

Susi sebenarnya menghadapi tantangan besar yang harus tuntas di masa jabatannya ini. Karena bila tidak, boleh jadi dia yang balik akan dihajar saat nantinya berhenti jadi menteri dan harus kembali ke profesinya semula sebagai eksportir ikan segar dan ikan hidup – karena untuk itulah sekitar 50 pesawat kecil dari Susi Air diadakan.

Tantangan besar itu adalah memandirikan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpinnya agar dapat menjadi pemain utama – bukan pemain tunggal lho – di panggung pembangunan pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil dan perikanan budidaya di negeri ini.

Pertama, KKP melalui Dirjen Perikanan Tangkap harus dapat menjadi bagian penting bahkan leading dalam upaya pencegahan, penanggulangan dan penindakan pelaku illegal fishing dan destructive fishing. Angkatan Laut harus dikembalikan fungsinya sebagai penjaga territori yang seharusnya mengejar semua benda asing berpenumpang manusia yang memasuki wilayah kedaulatan NKRI di lautan, tidak dihabiskan energinya hanya mengejar pelaku illegal fishing yang harusnya menjadi domain Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hal kedua, KKP harus menunjukkan kehadirannya dalam menanggulangi praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) baik yang dilakukan oleh kapal-kapal asing maupun kapal-kapal penangkap ikan dalam negeri sendiri. Destructive fishing ini membawa dampak penurunan potensi sumberdaya perikanan yang tak kalah dahsyatnya dibanding illegal fishing.

Hal Ketiga, KKP harus membangun kelembagaan pengelolaan hasil-hasil perikanan laut dan perikanan darat yang berbasis teknologi dan pengetahuan terkini sehingga pada saatnya masyarakat nelayan, pesisir, pulau-pulau kecil dan pembudidaya ikan air tawar yang hidupnya bergantung pada sumberdaya alam di kawasan tersebut dapat lebih sejahtera karena menikmati nilai tambah, sekali lagi saya bold nilai tambah atau added value dari sumberdaya yang mereka kelola. Katakanlah seperti yang Susi Pudjiastuti rasakan sebagai pengusaha perikanan beberapa waktu lalu.

Hal Keempat, KKP harus menghadirkan di tengah masyarakat Indonesia suatu entitas ekonomi baru yang dapat disebut masyarakat industri perikanan yang maju dimana para nelayan dan masyarakat pesisir yang selama ini termarginalkan dari sistem ekonomi yang ada - saya tidak tahu menyebutnya sistem ekonomi apa, apakah liberal, semi liberal atau apa -sehingga mereka dapat merasakan kehadiran sosok Susi Pudjiastuti benar-benar menjadi rahmat bagi negeri ini.

Hal Kelima, cukup lima saja, lihatlah potensi perikanan darat kita yang terdiri atas sejumlah danau, empang, kolam, karamba, sungai, bendungan dan kolom-kolom air lainnya di daratan. Tidakkah ada pemikiran untuk membuat gerakan sepuluh milyar ikan dimana KKP mengisi semua perairan di daratan dengan ikan dan mengenakan pajak bagi para pemancing ikan untuk menjadi modal menggerakkan gerakan sepeluh milyar ikan ini berkelanjutan.

Bu Susi, saya tahu beban  anda sangat berat. Pengharapan rakyat di pundak anda sangat besar. Tapi rakyat juga tak mungkin berharap kalau tidak percaya dan tidak melihat sendiri anda mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang musykil di mata kebanyakan orang. Bu Susi, you are our Princess Warrior ! We count on you ! [@bens_369]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun