Mohon tunggu...
ben10pku
ben10pku Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati (yang kata banyak orang) sangat jeli menilai sesuatu.

Generasi 70an. Suka membaca novel pengembangan kepribadian. Tokoh favorit adalah karakter-karakter Walt Disney.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

[Renungan] Kenapa Saya Tidak Diberi Kesempatan?

1 Oktober 2016   08:55 Diperbarui: 1 Oktober 2016   10:00 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Anak saya barusan memperoleh rapor bayangan dengan predikat juara I (pertama) di kelas 2 SD. Sebelumnya dia di kelas 1 SD selalu memperoleh juara II (kedua). Yang namanya anak kecil tentulah ingin mengetahui apakah ayahnya dulu juga pernah mencapai prestasi seperti dia. Dia pun bertanya: “Ayah apakah ayah dulu juga pernah juara kelas?” Saya jawab: “Pernah tapi juara II (kedua) terus.” Lalu anak saya bertanya: “Ayah, kenapa ayah tidak bisa juara I (pertama) ?” Sontak, pertanyaan anak saya ini membawa ingatan saya kembali ke masa lalu di tahun 1987-1988.

Saat itu, saya masih di kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Saya ingat sekali bahwa dari kelas 1 SD saya selalu juara II (kedua). Orang tua saya selalu berkata: “Kenapa sih kamu tidak bisa juara I (pertama)?” Saya selalu menjawab: “Akan saya usahakan”. Sebenarnya saingan berat saya (sang juara I) adalah seorang wanita dengan kepintaran yang menurut saya berimbang dengan saya. Akhirnya saya berusaha belajar lebih giat demi untuk memperoleh juara I (pertama). Dalam benak saya, “Sekali-kali yang juara I (pertama) itu saya kenapa tidak sih?!”

Akhirnya di kelas 2 SD tepatnya saat pembagian rapor, guru wali kelas membagikan hasil rapor kepada ayah saya. Lagi-lagi saya memperoleh juara II (kedua). Anehnya, guru wali kelas tersebut berkata kepada ayah saya, “Sebenarnya anak Bapak nilainya sama dengan sang juara I (pertama) tetapi karena kemarin dia lupa bawa dasi makanya dia jadi juara II (kedua)”. Mungkin bathin sang guru wali kelas merasa tidak enak sehingga dia mengungkapkan hal ini kepada ayah saya. Ayah saya pun menyampaikan kata-kata guru wali kelas tersebut kepada saya.

Sampai sekarang masih selalu muncul pertanyaan-pertanyaan berikut di dalam benak saya:

  1. Kenapa sih bu guru wali kelas tidak memberi saya kesempatan satu kali seumur hidup untuk merasakan jadi juara I (pertama)?
  2. Jangan-jangan memang bu guru wali kelas favoritnya si juara I (pertama) sehingga dia pasti enggan memberi gelar juara I (pertama) kepada saya?

Ingatan ini selalu membekas di dalam hati saya (dan masih meninggalkan sedikit kekesalan). Meski sebenarnya saya sangat menghargai kejujuran sang guru wali kelas karena dia bisa saja menyembunyikan fakta ini kepada ayah saya tetapi dia akhirnya memilih menyampaikannya kepada ayah saya. Tetapi apapun itu mohon sang guru wali kelas mempertimbangkan untuk memberikan kesempatan kepada sang "penantang" untuk merasakan status juara. Karena sang juara I (pertama) sudah pernah merasakan sedangkan sang “penantang” belum pernah merasakan status juara. Meski nilai berimbang tetapi itu tandanya bahwa sang juara I (pertama) prestasinya menurun sedangkan sang "penantang" prestasinya naik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun