Baru-baru ini berita tentang berubahnya UN (Ujian Nasional) menjadi USBN (Ujian Sekolah Berbasis Nasional) tetapi apapun itu adalah percobaan perbaikan mutu pendidikan di Indonesia yang lagi-lagi menurut saya tidak begitu berdampak pada peningkatan kualitas dan sumber daya manusia di Indonesia. Pada bahasan kali ini saya tidak akan membahas tentang UN menjadi USBN ataupun masalah pendidikan lainnya. Kali ini saya mencoba menggunakan pendekatan berbeda. Saya menitikberatkan pada akar dari permasalahan pendidikan di Indonesia yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya.
Akar permasalahannya apa? Menurut saya terletak pada ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam merumuskan/merancang/merevisi pedoman/pokok-pokok pendidikan itu sendiri. Maksud saya adalah bahwa selama ini masalah pendidikan selalu dilimpahkan ke level menteri saja. Saya merasa kasihan dengan menteri pendidikan kita yang dilimpahkan tugas yang begitu sulit dan berat. Mengapa begitu berat dan sulit? Kalau tidak berat dan sulit maka tidak akan dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945.
Mengapa tidak diprioritaskan?
Mungkin karena adanya ‘bahaya-bahaya’ dalam unsur pendidikan itu bagi sebagian pihak (pemerintah dan DPR). Bahaya-bahaya apakah itu? Masyarakat menjadi lebih bijaksana (sebenarnya masih banyak poin lainnya tetapi saya hanya mengambil 2 poin ini saja). Bijaksana dalam artian masyarakat bisa membedakan mana yang benar dan salah sehingga bisa lebih selektif dalam mengikuti pemilu. Masyarakat juga menjadi bisa berpikiran lebih jernih dan tidak mudah terhasut (dalam artian tidak akan muncul demo-demo yang tidak jelas lagi).
Perlu kita ingat bahwa pendidikan yang baik akan membentuk karakter yang baik pula. Mudahan-mudahan dengan pendidikan yang baik maka kita bisa mengikuti Jepang dengan semangat bushidonya (kerja keras, jujur, ikuti pemimpin, tidak individualis, tidak egois, bertanggung jawab, bersih hati, dan harus tahu malu). Jadi bila masyarakat sudah bijaksana maka oknum-oknum pejabat atau DPR yang bermasalah akan sulit berulah dan berkuasa.
Apa yang harus dilakukan?
Seharusnya pemerintah dan DPR bisa membuat sebuah rancang agung (grand design) untuk pendidikan Indonesia. Jadi semua proses itu perlu tahapan-tahapan yang jelas. Menurut saya masalah pendidikan tidak bisa diselesaikan dalam hanya waktu 5 (lima) tahun saja (masa jabatan seorang menteri/pemerintahan presiden). Seharusnya mencontoh pemerintah rezim Orde Baru yang membuat satuan perencanaan pembangunan yang dituangkan dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Jadi jangan pas ganti menteri/presiden maka berganti lagi kebijakannya (ganti kurikulum). Semestinya menteri yang menggantikan melanjutkan kebijakan menteri sebelumnya yang dituangkan dalam satuan perencanaan pendidikan (yang disusun oleh pemerintah dan DPR). Hal ini akan membuat perbaikan/pembaharuan pendidikan itu menjadi berkesinambungan dan berkelanjutan karena sudah ada pedoman yang jelas. Yang terpenting dari itu semua adalah adanya tolok ukur keberhasilan pendidikan yang didasarkan pada satuan perencanaan pendidikan tersebut.
Akhir kata, marilah kita bersama-sama mendesak pemerintah dan DPR untuk merumuskan satuan perencanaan pendidikan sehingga pendidikan kita menjadi lebih baik dan bisa membawa manfaat bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H