Pada hari Selasa tanggal 02 Februari 2016, saya menyaksikan debat kasus kopi Mirna di Indonesia Lawyers Club (ILC) di TVOne. Hadir dalam perdebatan itu sejumlah pakar/pengamat: Kombes Pol M Iqbal (Kabid Humas Polda Metro Jaya), Yudi Wibowo (Pengacara Jessica), Kirdi Putra (Ahli Hipnotis), Eddi Hasibuan (Anggota Kompolnas), Hubertus Kasan Hidayat (Psikiater), Sisno Adiwinoto (Pengamat Kepolisian), Reza Indragiri Amril (Psikolog Forensik), Hotman Paris Hutapea (Praktisi Hukum), Dermawan Salihin (Ayah Alm. Mirna), Prof. Gayus Lumbuun (Pakar Hukum Pidana), Alfons Lemau (Pengamat Kepolisian), Christianto Wibisono (Kolumnis), Prof. Said Karim (Pakar Hukum Pidana). Pakar/pengamat masing-masing berdebat mengemukakan argumentasinya.
Semua pendapat pakar-pakar tsb begitu hebat (menurut saya) dimana analisanya seperti analisa detektif Sherlock Holmes (tokoh detektif rekaan Sir Arthur Conan Doyle) yang hebat itu. Salah satu argumentasi yang menarik datang dari Bpk Reza (Psikolog Forensik). Dia menyatakan bahwa dalam keadaan normal (dalam artian jika pelakunya berpikiran waras) bahwa tidak mungkin pelaku berani meracun korban di lokasi dimana terdapat begitu banyak CCTV dan racun biasa digunakan sebagai sarana pembunuhan jarak jauh.
Lalu Bpk Hotman Paris Hutapea (Praktisi Hukum) menambahkan keganjilan kasus tersebut dengan menyertakan surat dari anaknya yang kuliah di London bahwa tidak mungkin si pelaku membunuh secara terang-terangan. Setelah mendengar pendapat-pendapat tsb saya jadi terpengaruh dan berpikir bahwa sepertinya memang tidak mungkin kalau Jessica itu yang meracun Mirna.
Asumsi saya berubah ketika Bpk Edi Darmawan Salihin (ayah Mirna) mengemukakan argumentasinya. Dia berkata bahwa ketika kejadian Jessica terlihat tenang dan santai saja bahkan tidak ada usaha menolong korban. Lalu ditambahkan bahwa dari percakapan WA (WhatsApp) disebutkan bahwa Jessica meminta untuk dicium. Dari situlah, ayah Mirna mulai curiga bahwa Jessica menaruh rasa sayang yang berlebihan kepada Mirna. Yang terakhir dia mengatakan bahwa dia mendapat kabar dari polisi Australia tetapi akan dia diungkapkan di persidangan.
Kalau menurut saya sih palingan Jessica kedapatan membeli Sianida di Australia (tell me if I'm wrong). Begitu telaknya semua fakta dan data yang dipaparkan oleh ayah Mirna. Saya jadi tertegun bahwa kasus yang begitu diheboh-hebohkan rupanya memang seperti yang diucapkan oleh ayah Mirna bahwa ini adalah kasus sederhana tetapi jadi terkesan rumit gara-gara banyaknya komentar dari pakar/pengamat di berbagai media.
Para ahli pakar/pengamat yang sebagian pro ke Jessica sepertinya dibuat 'mati kutu' oleh ayah Mirna. Mereka yang tadinya mengemukakan teori-teori yang hebat ala Sherlock Holmes jadi bungkam seribu bahasa (seperti Bpk Reza). Kalau sudah begini siapa yang malu? Saya jadi teringat sebuah pepatah: "Tong kosong nyaring bunyinya!". Nah lho... Bagi saya ini sebaiknya menjadi pelajaran bagi para pakar/pengamat yang suka melontarkan teori sesuka hatinya tsb. Istilahnya yang sederhana jangan dibuat ribet dan satu lagi Anda sebagai pakar/pengamat melihat dari sisi luar (dengan kata lain Anda tidak tau apa-apa).
Jadi kalau tidak tau apa-apa jangan asal komentar. Karena kalau komentar Anda salah maka Anda akan terkena akibatnya (malu sendiri). Satu lagi yang perlu kita perhatikan bahwa dengan adat ketimuran yang kita usung rasanya tidak etis mengemukakan komentar/pendapat terhadap orang sudah meninggal. Bagaimana perasaaan keluarga yang ditinggalkan oleh korban jika mereka setiap hari harus melihat/membaca berita di TV/koran yang membahas kematian anak mereka. Semestinya jangan terlalu diumbar-umbar berita tsb. Berikanlah waktu kepada keluarga korban untuk tenang dan tabah atas kepergian korban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H