Mohon tunggu...
ben10pku
ben10pku Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati (yang kata banyak orang) sangat jeli menilai sesuatu.

Generasi 70an. Suka membaca novel pengembangan kepribadian. Tokoh favorit adalah karakter-karakter Walt Disney.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Kerusuhan di Tanjung Balai] Solusi yang Tepat Bagaimana?

1 Agustus 2016   09:10 Diperbarui: 1 Agustus 2016   09:31 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Pembakaran dan perusakan terhadap berbagai rumah ibadat dan fasilitas atau bangunan milik warga keturunan Cina meletus di Tanjung Balai, Sumatera Utara, Jumat (29/7) menjelang tengah malam, sejak sekitar pukul 23.00.

Setidaknya tiga vihara dan delapan kelenteng sebuah yayasan sosial dan tiga bangunan dirusak atau dibakar. Setidaknya enam mobil juga dibakar atau dirusak.

...........

Disebutkannya, ketegangan bermula menjelang shalat Isya, setelah Meliana, seorang perempuan Tionghoa berusia 41 tahun yang meminta agar pengurus mesjid Al Maksum di lingkungannya mengecilkan volume pengeras suaranya.”

Betapa sedih hati saya membaca berita di atas karena masih ada saja orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk melakukan perusakan (khususnya tempat ibadah). Padahal jelas-jelas di dalam kitab suci agama manapun melarang keras perusakan tempat ibadah. Saya jadi berpikir jangan-jangan orang-orang yang melakukan perusakan ini adalah orang kafir. Tetapi apapun itu “Nasi sudah menjadi bubur” jadi kita perlu memikirkan langkah ke depannya untuk mencegah kejadian serupa supaya tidak terulang kembali. Berikut saya memaparkan beberapa solusi untuk hal ini.

Pertama, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Sepengetahuan saya yang melakukan perusakan itu ratusan orang tetapi kenapa yang ditangkap itu cuman provokator dan yang menjarah saja. Menurut saya semestinya semuanya harus ditangkap. Anggaplah kalau ada yang hanya ikut-ikutan saja tetapi apapun alasannya mereka kan tetap melanggar hukum. Lalu sudah menjadi rahasia umum bahwa perusakan suatu tempat (termasuk tempat ibadah) yang dilakukan oleh orang banyak jarang diberikan hukuman yang berat. Saya takutnya ke depannya akan ada banyak orang yang memiliki pikiran seperti ini: “seandainya saya ingin merusak suatu tempat maka saya cukup mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya dan melakukannya toh hukumannya juga tidak berat dan kalau beruntung malah dibebaskan.”

Kedua, perlu dibuatnya peraturan yang merincikan tugas aparat keamaanan saat menangani kejadian seperti ini. Bisa jadi selama ini aparat keamanan ‘tidak berkutik’ karena tidak adanya SOP yang jelas. Saran saya adalah tembak di tempat (pada posisi kaki tentunya) dengan menggunakan peluru karet, lalu semua pihak yang melakukan ditangkap tanpa terkecuali (termasuk yang ikut-ikutan), terakhir perlu diperberat sanksi hukumannya (minimal 20 tahun penjara). Mungkin sebagian banyak yang bertanya-tanya kenapa sanksi hukumannya diperberat? Saya analogikan begini, kalau saya membunuh orang mungkin saya menyebabkan sakit hati (yang bisa mengakibatkan pembalasan dari pihak keluarga korban).

Tetapi kalau saya merusak tempat ibadah orang maka saya akan menyebabkan sakit hati kepada orang-orang yang beribadah di tempat itu (khususnya) dan kepada semua orang yang memeluk agama/kepercayaan itu (umumnya). Kalau situasinya sudah seperti itu tentunya akan terjadi konflik horizontal berkepanjangan antar pemeluk agama padahal penyebabnya cuman segelintir orang saja. Saya takutnya nanti para pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab bisa memanfaatkan isu ini untuk menghancurkan bangsa dan negara kita yang kita cintai ini.

Ketiga, perlunya sosialisasi toleransi umat beragama. Sosialisasi ini bisa dalam bentuk memasukkan materi toleransi umat beragama ke dalam sistem pendidikan kita dan para juru dakwah juga dihimbau untuk membawakan dakwah tentang toleransi umat beragama. Di sini perlu ditekankan bahwa salah satu faktor penting yang mempersatukan bangsa kita adalah toleransi umat beragama. Jadi jika tidak ada toleransi umat beragama maka bangsa kita akan hancur. Jadi ke depannya yang tertangkap tidak bisa berkelit tidak tau dan hanya ikut-ikutan saja karena merusak tempat orang (pribadi) saja salah apalagi merusak tempat ibadah (umum).

Keempat, perlunya dilakukan restorasi (perbaikan) tempat ibadah yang dirusak. Menurut hemat saya, kalau perlu  pihak-pihak yang merusak itu yang diharuskan mengganti rugi biar kapok dan dituangkan dalam bentuk peraturan. Kalau tidak sanggup mengganti maka bila perlu harta bendanya disita saja untuk mengganti semua kerusakan yang terjadi (termasuk kendaraan, rumah dan fasilitas umum lainnya yang rusak karena terkena imbasnya). Toh merusak rumah orang saja harus ganti rugi. Kenapa merusak tempat ibadah malah pemerintah yang disuruh ganti rugi?

Kelima, perlunya dibuat aturan tentang tata cara penyelenggaraan kegiatan keagamaan (supaya  tertib dan tidak mengganggu orang lain). Misalnya , melarang penggunaan speaker dengan tingkat kebisingan yang luar biasa. Atau bisa juga melarang pelaksanaan ibadah di jam-jam tertentu (di keramaian) misalnya tengah malam (yang mengganggu orang tidur). Atau bisa juga merincikan mekanisme pemblokiran jalan untuk acara-acara keagamaan di keramaian (supaya tidak mengganggu orang yang lalu lalang di daerah itu). Lalu bisa juga merincikan mekanisme pelaksanaan kegiataan keagamaan yang harus dihadiri oleh aparat keamaanan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun