"Engkau, adalah rasa sakit yang selalu kupahami. Aku, adalah kebahagiaan yang tak pernah engkau mengerti"
Ada dua pasang pengunjung di kafe ini: sepasang remaja yang sedang jatuh cinta, dan aku yang sibuk bercakap-cakap dengan masalaluku. Sepasang remaja itu asyik berciuman, sesekali berpelukan sambil merajut janji sebuah masa depan. Sedangkan aku dan ketiadaanmu; sibuk mengingat-ingat janji masa silam.
Sesekali, kami tertawa bersama-sama, dia dengan kekasihnya, dan aku dengan masalalu yang tak lagi mengingatku. Kami memesan lagi minuman, sepasang remaja itu memesan coklat panas, dan aku (dengan masa silamku) memesan bir untuk berbagi segala yang getir. "Ingatlah aku, ketika segala kepedihan mengunjungimu. Lupakanlah aku, ketika telah kau temukan kebahagiaan baru."
Kafe sudah mau tutup, percakapan harus segera diakhiri. Ia gandeng kekasihnya memesan taksi. Aku gandeng masasilamku memesan sunyi. Dua pasang pengunjung kafe yang begitu serasi.
"Masih ingatkah kau nama sepasang remaja itu?", kata masasilamku.
"Apa yang tak kuingat dalam hidupmu, sepasang remaja itu bernama aku dan ketiadaanmu", jawabku.
"Ingatanmu begitu baik, sebaik apakah engkau mengingatku?", tanya masa silamku.
"Aku mengingatmu sebaik ingatanmu melupakanku", jawabku, tak kuasa menahan pilu.
"Sebelum pergi, bolehkah aku meminta sebuah puisi?", pinta masa laluku.
"Tak bosankah kau membaca kesedihan dalam puisiku?", kataku, mencoba menahan rindu.
"Anggap saja ini bukan puisi, anggap saja ini kesedihan yang telah mengikhlaskan diri", kataku, menyanggupi permintaanmu.