Oleh: Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 2014
Pada tahun 2013 lalu, penyair ternama Sitok Srengenge diduga melakukan tindak kekerasan seksual pada seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia berinisial RW. Kejadian tersebut terjadi pada sekitar bulan Maret 2013. RW pertama kali bertemu dengan Sitok pada Desember 2012. Saat itu, RW bertindak sebagai panitia sebuah kegiatan festival kreatif di kampusnya dan Sitok selaku jurinya. Setelah acara selesai, maka praktis hubungan professional keduanya pun ikut selesai.
Akan tetapi, pada awal bulan Maret 2013, Sitok secara tiba-tiba kembali menghubungi RW dan mendekatinya. Setelah itu, RW diajak ke tempat Sitok dan di sana lah tindak kekerasan seksual terjadi hingga korban hamil. Korban pada awalnya menyetujui bertemu dengan Sitok hanya dengan tujuan meminta bantuan untuk kebutuhan skripsi. Kejadian ini bahkan berulang beberapa kali. Ternyata korban Sitok tidak hanya satu. Setelah RW melaporkan Sitok kepada pihak kepolisian pada November 2013, sebulan berikutnya dua perempuan dengan nama samaran Maria dan Anya muncul dan bersaksi bahwa mereka juga mengalami hal serupa dengan yang dialami RW oleh pelaku yang sama: Sitok Srengenge.
Pada budaya Indonesia, seorang perempuan selalu disisipkan ide tentang keperawanan. Harga dirinya bertumpu pada keperawanan sebagai mahkota dirinya. Hal ini membuat setiap perempuan memiliki mind-set harus menjaga hal yang bernama keperawanan. Maka dari itu, saat mahkota tersebut hilang, terjadi guncangan psikologis yang menimpanya. Guncangan psikologis yang dimaksud di sini adalah Rape Trauma Syndrom yang merupakan bagian dari Post-traumatic Stress Disorder (PTSD), yaitu trauma yang dialami oleh RW. Trauma ini umum dialami oleh orang yang mengalami kejadian yang sangat mengejutkan, sehingga orang tersebut mengalami gejala-gejala tertentu.
Salah satu kriteria dalam diagnosis PTSD adalah adanya paparan terhadap kejadian traumatis. Seseorang yang mengalami PTSD pasti telah mengalami atau menyaksikan kejadian yang terkait dengan kematian atau ancaman kematian, luka berat, atau ancaman terhadap integritas fisik dari diri sendiri ataupun orang lain. Trauma tersebut dipastikan telah menciptakan rasa takut serta ketidakberdayaan yang sangat kuat. Sehingga dengan hasil pemeriksaan psikologis yang menunjukkan bahwa RW mengalami Gangguan Stres Pasca Trauma, dapat dipastikan bahwa ia telah mengalami kejadian traumatis tersebut (Kring et. al., 2010).
Ada satu hal penting yang perlu diperhatikan terkait tindak kekerasan seksual yang dilakukan Sitok. Kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, seringkali disangkal sebagai tindak perkosaan karena tidak terdapat bukti fisik yang cukup kuat pada tubuh korban. Bukti fisik yang dimaksud contohnya antara lain robekan secara paksa pada selaput dara, luka di vagina, bercak sperma, dan sebagainya. Selain itu, penyangkalan juga bisa disebabkan karena tidak ditemukannya bukti perlawanan berbentuk fisik dari korban atau bukti pemaksaan dari pelaku. Konsep ini juga masih berlaku di dalam UU dan KUHP negara kita yang meregulasi hal-hal terkait kekerasan seksual. Padahal, tindak pemerkosaan tidak selamanya selalu meninggalkan bukti fisik. Sebab tindakan yang dilakukan Sitok merupakan soft rape, yaitu pemerkosaan secara halus. Tindak kekerasan seksual juga tidak hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi juga mental alias soft rape.
Soft rape biasanya dilakukan dengan melibatkan intimidasi, ancaman, atau relasi kuasa. Korban dipaksa secara halus dan dijatuhkan mentalnya untuk menuruti kemauan pelaku. Banyak kasus pemerkosaan yang terjadi dalam kondisi di mana korban berada di bawah tekanan yang membuat dirinya tidak punya pilihan lain selain menuruti kehendak pelaku. Dalam kasus ini, terdapat ancaman yang diberikan Sitok terhadap RW. Ancaman ini menambah ketakutan RW terhadap Sitok sehingga posisinya sangat terdesak. Pada kasus ini, Sitok mengancam akan mempermalukan RW apabila perbuatannya tersebut diadukan ke orang lain. Dengan memanfaatkan posisinya sebagai seniman ternama, Sitok memastikan bahwa tidak akan ada yang percaya dengan cerita RW.
Selain itu, pandangan RW yang menganggap Sitok sebagai lelaki yang berumur dan berpengalaman juga menambah keterdesakan posisi RW pada kasus ini. Ditambah, Sitok selalu meyakinkan RW bahwa RW toh sudah “keburu hancur” karena sudah Sitok setubuhi. Satu hal yang penting diingat, setelah diperkosa, kondisi psikologis RW berada dalam keadaan yang sangat kacau dan hancur sehingga tekanan-tekanan yang diberikan Sitok setelahnya membuat RW tidak berdaya dan tidak punya pilihan lain selain menuruti kehendak Sitok. Hal ini lah yang membuat RW diperkosa berkali-kali.
Selain dari Sitok, pada awalnya terdapat ketakutan pribadi RW terhadap dampak kehidupan sosialnya apabila RW melaporkan Sitok kepada pihak terkait. Dampak sosial ini bisa dari lingkungan seperti keluarga, teman-teman, masyarakat sekitar, dan lain sebagainya sehingga hal itu menjadi ketakutan tersendiri untuk RW. Dampak sosial tersebut dapat berupa ketakukan untuk dijauhi, diperbincangkan, dikucilkan, dimusuhi, dan hal-hal lain yang tidak menyenangkan bagi RW.
Sedangkan ditinjau dari kaca mata hukum, hukum Indonesia yang berdasarkan prinsip legalitas, yakni hanya berdasarkan pasal-pasal yang ada, masih belum berpihak kepada korban pemerkosaan. Bukti fisik yang diwajibkan untuk memenuhi pasal 285 membuat kasus yang dialami oleh RW tidak dianggap sebagai kasus pemerkosaan oleh pihak kepolisian. Hal ini tentu saja berbeda dengan pandangan hukum di Amerika Serikat. Pemerkosaan bukanlah tentang penetrasi yang menyebabkan luka pada korban, tetapi hubungan seksual tanpa persetujuan korban pun sudah dapat dikatakan sebagai kasus pemerkosaan. Pihak kepolisian yang terus meminta bukti fisik tentu saja tidak dapat dipenuhi oleh pihak RW karena ini merupakan kasus soft rape.