Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015
Sebuah pertanyaan melayang-layang di benak penulis akan sebuah kata dan perwujudan dari sebuah makhluk, manusia. Apakah itu manusia? Sebuah makhluk mulia? Bagian dari binatang? Ataukah manusia itu adalah sebuah komoditas? Menurut penulis, semua pertanyaan tersebut merupakan sesuatu yang benar. Manusia sebagai makhluk yang mulia jika kita lihat dari sisi keagamaan karena merupakan gambaran dari Allah sendiri. Manusia sebagai binatang yang memiliki naluri untuk membunuh, liar, tak terkendali, dan menguasai manusia lain. Sehingga menciptakan sebuah exploitation de l'homme par l'homme[1] atau penghisapan manusia oleh manusia yang membenarkan pernyataan bahwa manusia merupakan sebuah komoditas. Sebab manusia yang menjadi buruh menjual tenaganya untuk bekerja pada pemilik modal, sementara tenaga para buruh tersebut dibayar dengan upah oleh pemilik modal (Marx, n.d.). Sehingga menyebabkan penghisapan manusia oleh manusia lain yang berkuasa yang menyebabkan penindasan, kemiskinan, dan keterasingan manusia dari barang yang telah mereka hasilkan sendiri.
Pada dasarnya, manusia merupakan sebuah makhluk merdeka, memiliki kehendak bebas, dan memiliki haknya yang mendasar sebagai sebuah makhluk, yaitu hak untuk hidup, hak untuk hidup layak, hak untuk lepas dari ketertindasan dan penindasan, hak untuk lepas dari ketakutan, dan hak untuk lepas dari kemiskinan. Maka sangat penting sekali isu HAM bagi setiap orang di dunia ini dan juga di Indonesia ini. Tentu saja, tulisan ini digunakan untuk mengingat-ingat apa sajakah yang sudah terjadi di Indonesia ini berkaitan dengan HAM setiap rakyat Indonesia yang telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 :
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca Amandemen).
Â
Hak Hidup Layak
Hak untuk hidup merupakan sesuatu yang sangat mendasar bagi setiap manusia di dunia ini, namun tidak hanya hak untuk hidup, tetapi perlu ditambahkan hak untuk hidup layak. Hidup layak yang seperti pada Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945 nyatakan bahwa manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, pendidikan, dan kesejahteraannya, Pasal 28H ayat 1 sampai 4 yang mengatakan bahwa setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir batin, memiliki hak untuk persamaan dan keadilan, dan berhak atas jaminan sosial, dan hak milik pribadi. Dan juga Pasal 28 I ayat 1 yang mengatakan bahwa manusia berhak atas hidup, hak tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan hak untuk tidak diperbudak.
Selama 17 tahun terakhir ini, pasca jatuhnya orde baru, beberapa elemen hak untuk hidup layak belum terwujud dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Memang, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani dan terbebas dari ketakutan telah terpenuhi jika kita menggunakan tolok ukur jatuhnya pemerintahan otoriter orde baru yang merepresi kebebasan berpikir dan berpendapat. Namun, jika kita lihat lebih mendalam, tentu kemerdekaan untuk berpikir belum juga terpenuhi ketika TAP MPRS No. XXV/1966 belum digugurkan, sebab masyarakat Indonesia masih dilarang untuk mempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.[2] Padahal, pada dasarnya mendapatkan ilmu pengetahuan merupakan hak setiap orang untuk memilikinya dan hak untuk lepas dari kebodohan juga merupakan hak mendasar bagi seluruh rakyat Indonesia, dan ideologi apapun tidak ada yang berbahaya selama ideologi tersebut tidak dijadikan alat kekuasaan dan terlebih lagi ideologi hanya digunakan sebagai ilmu pengetahuan.
Selama 17 tahun terakhir ini pula dasar-dasar untuk menyokong hidup layak bagi masyarakat Indonesia tidak pernah terpenuhi. Memang, menurut data statistik dibanding tahun 1998, pada tahun 2013 kemiskinan di Indonesia turun dari 49,5% menjadi 10,96%. Namun, garis kemiskinan yang ditetapkan adalah Rp 312.328 atau jika dihitung per hari sebesar Rp 10.400 (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2014). Jadi, seandainya pendapatan seseorang adalah Rp 12.000, maka ia sudah tidak termasuk dibawah garis kemiskinan. Namun Rp 12.000 jika di kota hanya bisa dipakai untuk sekali makan dan di desa bisa dipakai untuk 2-3 kali makan tanpa memberi makan pada anak dan istri dan juga tanpa memberikan pendidikan, rumah, kesehatan, dan kepentingan-kepentingan hidup lain. Jadi orang yang hanya bisa makan sekali tanpa bisa memberi makan anak dan istri, tidak bisa memberi pendidikan pada anak dan dirinya sendiri, tanpa jaminan sosial, dan jaminan kesehatan, merupakan orang yang tidak miskin.
Apakah kelayakan hidup cukup dengan makan sekali sehari tanpa bisa bersekolah/menyekolahkan anak, tanpa bisa mengakses kesehatan, tidak bisa juga memberi makan pada anak dan istri, tidak bisa memiliki rumah, dan tanpa ada jaminan sosial sekalipun? Jika kita tarik garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan maka seharusnya keluarga/seseorang yang tidak miskin adalah seseorang yang bisa makan tiga kali sehari, bisa memberi makan anak dan istrinya tiga kali sehari, bisa menyekolahkan anaknya, memiliki jaminan sosial atas kesehatan, dan memiliki tempat tinggal. Jika kita tarik garis kemiskinan sebesar Rp 20.000 per hari, dimana hanya mencukupi untuk dua kali makan di kota untuk diri sendiri tanpa bisa memenuhi pangan layak bagi istri dan anak. Jumlah rakyat Indonesia yang miskin adalah 43% jumlah penduduk. Seandainya orang/keluarga tidak miskin ditarik dari kemampuan seseorang untuk makan tiga kali sehari dan bisa memberi makan anak dan istrinya tiga kali sehari, mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, perumahan, dan mendapatkan jaminan sosial dan yang terbilang miskin jika salah satunya tidak terpenuhi, maka berapa banyakkah jumlah rakyat miskin di Indonesia?, dan apakah selama 17 tahun ini, hak atas hidup layak sudah dipenuhi oleh negara? Jawabannya belum optimal.
Â