Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015
Kondisi sistem pemerintahan di Indonesia pasca bergulirnya rezim orde baru, yang dipicu oleh momentum “Reformasi 1998” memiliki banyak perubahan. Agenda untuk melaksanakan demokratisasi kembali diangkat menjadi hal yang utama, berangkat dari persoalan-persoalan yang ada sebelumnya pada rezim orde baru. Banyak pihak menganggap, terdapat penyelewengan terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang diterapkan pada masa tersebut, sehingga wacana demokratisasi sistem pemerintah Indonesia mulai menjadi fokus bahasan bagi sebagian besar pemerintahan pasca reformasi. Seperti yang disampaikan oleh Miriam Budiardjo, dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, pengalaman orde baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR) (Budiardjo, 2008).
Demokrasi sebagai sebuah sistem, memiliki semangat yang mengarah kepada penghormatan yang bisa ditarik dari konteks pemikiran liberal (Budiardjo, 2008), bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang harus dihormati dan terlekat di dalam dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Indonesia sebagai negara berdaulat pun memiliki rangkaian sejarah perjalanannya mengenai penerapan sistem demokrasi dan rezim orde baru yang berkuasa telah banyak melakukan penyelewengan. Indonesia pasca reformasi membawa semangat untuk memperbaiki penerapan sistem demokrasi yang ada. Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat (Budiardjo, 2008). Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan sejarah baru bagi masa depan konstitusi Indonesia. Perubahan UUD 1945 dilakukan sebagai buah dari amanat reformasi pembangunan nasional sejak turunnya rezim Soeharto (1967-1998). Terdapat empat kali perubahan yang berturut-turut telah dilakukan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 (El-Muhtaj, 2005).
Salah satu hal yang dirumuskan dalam amandemen UUD 1945 tersebut menyinggung mengenai hak asasi manusia. Khusus mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada Perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000. Perubahan dan kemajuan signifikan adalah dengan dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah bab tersendiri, yakni Bab XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal 28A sampai dengan 28J (El-Muhtaj, 2005). Penegasan HAM kelihatan menjadi semakin eksplisit, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 28A yang berbunyi, Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Menelaah HAM, menurut Todung Mulya Lubis (1984) sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan; sejauh mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan. Permasalahan HAM di Indonesia telah mengalami pasang surut. Sesudah dua periode represi (rezim Soekarno dan rezim Soeharto), periode sistem pemerintahan pasca reformasi berusaha lebih memajukan hak asasi (El-Muhtaj, 2005).
Penting pula dicermati bahwa dengan menyadari sejarah panjang kemanusiaan sejagat dengan segala dinamikanya memberikan pengaruh bagi perkembangan pemikiran, khususnya dalam wilayah ketatanegaraan Indonesia. Disadari bahwa ide-ide tentang hak-hak asasi bukanlah hal yang muncul begitu saja tanpa “ongkos” perjuangan dan memiliki pengorbanan yang tidak kecil. Selain itu, rasanya sulit dibayangkan terjadinya komitmen yang tulus kepada pengukuhan, pelaksanaan, dan pembelaan hak-hak asasi tanpa dikaitkan dengan dasar dan bukti keinsafan akan makna dan tujuan hidup pribadi manusia itu sendiri (El-Muhtaj, 2005).
Dapat kita sadari, bahasan masalah HAM di Indonesia mengalami perkembangan. Berdasarkan ketentuan dari seluruh konstitusi yang berlaku di Indonesia dapat dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah mengalami proses dialektika yang serius dan panjang. Pentingnya pengaturan HAM dalam konstitusi menggambarkan komitmen atas upaya penegakan hukum dan HAM. Selain itu, beragamnya muatan HAM dalam konstitusi secara maksimal telah diupayakan untuk mengakomodasi hajat dan kebutuhan perlindungan HAM, baik dalam konteks, keluarga, masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia (El-Muhtaj, 2005).
Di Indonesia, dalam hal perkembangan HAM, terdapat banyak sekali dinamika pro dan kontra. Salah satu pertentangan yang sering terjadi adalah bahwa HAM merupakan wacana atau gagasan asing yang dapat membahayakan ciri khas budaya Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Adnan Buyung Nasution, sejatinya masyarakat Indonesia memiliki kebutuhan terhadap perlindungan hak-hak bagi manusianya, namun dapat dirumuskan melalui perspektif budaya Indonesia (Nasution, 2003). Menurutnya, pertanyaan mengenai pentingnya perjuangan yang harus diletakkan dalam perspektif Indonesia, jawabannya sederhana sekali, yaitu adalah karena kita semua orang Indonesia atau anak bangsa yang terikat kepada Sumpah Pemuda yang sudah diikrarkan pada tahun 1928 yaitu bahwa kita akan memerdekakan semua orang Indonesia apapun latar belakang suku, agama, keturunan, warna kulit, dan daerahnya di dalam satu bangsa yang merdeka yaitu Negara Indonesia (Nasution, 2003). Dengan demikian, permasalahan HAM bermuara pada urgensi pengembangan demokrasi secara konsisten. Demokrasi mengandaikan adanya supremasi hukum; dan berkembangnya kesadaran rakyat tentang hak-haknya, di samping tentunya ada pembagian kewenangan antar cabang kekuasaan baik dalam struktur pemerintahan di pusat maupun di daerah. Sebaliknya demokrasi juga mengandaikan dan memberi peluang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesadaran akan hak-hak rakyat yang diaplikasikan dalam partisipasi politik mereka. Bahkan konsolidasi demokrasi mempersyaratkan adanya partisipasi rakyat yang efektif. Dalam konteks negara yang dalam taraf transisi menuju demokrasi, penegakkan supremasi hukum, peningkatan kesadaran rakyat atas hak-haknya dan perlindungan HAM merupakan bagian dari agenda urgen untuk mendorong pemapanan demokrasi yang dikenal dengan istilah konsolidasi demokrasi (Nasution, 2003).
Daftar Pustaka
Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
El-Muhtaj, M. (2005). Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta: Kencana.
Nasution, A. B. (2003, Juli 14-18). Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII. Diselenggarakan oleh 14-18 Juli 2003. Denpasar: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H