Mohon tunggu...
BEM FISIP UI 2015
BEM FISIP UI 2015 Mohon Tunggu... -

Kanal media resmi BEM FISIP UI 2015 | Kolaborasi Karya Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Selayang Pandang Reformasi Indonesia dan Tantangannya

22 Mei 2015   22:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:42 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015

Reformasi yang diawali Gejolak-Gejolak

Sejarah panjang bangsa Indonesia tentunya tidak akan pernah melupakan kejadian besar yang terjadi pada tahun 1998, yakni reformasi. Menelisik lebih jauh, sesungguhnya peristiwa reformasi diawali oleh maraknya kritik-kritik yang diajukan oleh berbagai kalangan intelektual agar Soeharto tidak lagi memimpin. Akan tetapi pada pemilu 1997, Golkar kembali menjadi pemenang dan kemudian mengangkat Soeharto untuk menjadi presiden.

Terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden melalui Sidang Umum MPR yang berlangsung pada 1-11 Maret 1998 ternyata tidak membawa dampak perubahan yang baik bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, kondisi ekonomi Indonesia saat itu justru semakin mengalami gejolak krisis. Meskipun gejolak krisis ini merupakan imbas dari ekonomi global yang diduga disebabkan oleh pelaku perilaku spekulan dan bukan hanya terjadi di Indonesia, namun kondisi ini terus-menerus mendorong gelombang aksi masyarakat silih berganti untuk menyuarakan tuntutan reformasi. Puncak dari gelombang aksi massa tersebut terjadi pada peristiwa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang mengakibatkan tewasnya 4 orang mahasiswa Trisakti, yakni Elang Mulya Lesmana, Hary Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan.

Setalah tragedi berdarah 12 Mei, terjadi kerusuhan dimana-mana sebagai reaksi masyarakat atas peristiwa Trisakti. Kerusuhan tersebut menelan korban ratusan jiwa terutama etnis Tionghoa. Setelah peristiwa Trisakti dan kerusuhan, gelombang aksi massa yang didominasi oleh mahasiswa semakin membesar dan terpusat di Jakarta. Mahasiswa berdatangan untuk menduduki gedung DPR/MPR dan menuntut wakil-wakil rakyat di sana agar segera mencabut mandat Presiden Soeharto. Atas tuntutan tersebut, pada tanggal 20 Mei 1998 pimpinan DPR memutuskan untuk segera menggelar Sidang Istimewa MPR jika Presiden tidak mengundurkan diri. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998, di Istana Merdeka, Presiden Soeharto menyatakan berhenti setelah 32 tahun berkuasa dan digantikan oleh BJ. Habibie sesuai dengan pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi “Jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis waktunya.” (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca Amandemen).

Penjajakan Teori: Reformasi

Sebelum membahas tentang reformasi yang terjadi di Indonesia dan kaitannya dengan konsep demokratisasi, kita perlu mengenal teori yang membahas reformasi itu sendiri. Salah satu teori yang paling popular ialah beureaucracy reform yang dikemukakan oleh Guy Peters dalam bukunya yang berjudul The Politics of Beureaucracy (Peters, 2002). Peters menyatakan dalam konsep administrative reform-nya bahwa setiap lembaga memiliki ide dan konsep administratif masing-masing. Selektivitas dibutuhkan dalam pemilihan ide dan konsep reformasi agar sesuai dengan semangat perubahan di dalam lembaga tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan pemimpin yang layak dan benar-benar bisa membawa reformasi pada kesuksesan tujuannya.

Agenda Reformasi 1998

Sampai saat ini yang masih menjadi pertanyaan besar bagi kita adalah, sudahkah kita memiliki konsep yang sesuai dalam reformasi? Sampai saat ini, 17 tahun reformasi bergulir sudahkah kita merasa bahwa gagasan-gagasan reformasi ini sudah berhasil? Mungkin terlalu dini untuk menjawab gagal atau suksesnya saat ini meskipun sudah tidak menjadi barang baru pula reformasi yang kita gaungkan sekian lamanya.

Akan tetapi meskipun kita tidak bisa menjawab secara lugas gagal atau suksesnya reformasi 1998, kita bisa sedikit menganalisis kegagalan atau kesuksesan tersebut melalui pemahaman terhadap agenda-agenda reformasi. Dalam buku Reformasi dalam Stagnasi, Amien Rais, sebagai salah satu tokoh pelopor bergulirnya reformasi mengungkapkan bahwa ada 6 buah agenda besar reformasi, yaitu amandemen UUD 1945, reposisi TNI dan Polri, penegakan supremasi hukum, pembangunan good governance dan clean government, perluasan otonomi daerah, dan dorongan untuk berbagai macam kebebasan (Rais, dkk, 2001). Kita tentunya perlu melakukan evaluasi terhadap agenda-agenda reformasi tersebut dan menyadari apakah keenam agenda reformasi tersebut sudah berhasil terwujud sebagai tolak ukur kesuksesan reformasi 1998 ini.

Pertama, mengenai amandemen UUD 1945 sangatlah penting penting untuk kita ketahui urgensinya. Wacana untuk melaksanakan amandemen UUD 1945 didasarkan atas fakta sejarah yang terjadi selama ini bahwa penerapan pasal-pasal UUD 1945 merupakan upaya sentralisasi kekuasaan terutama pada Presiden. Menurut Deliar Noer, 25 dari 37 pasal UUD 1945 adalah interpretative sehingga perlu disempurnakan. Konstruksi pemikiran otoriterianisme yang dibangun berdasarkan peluang yang ada dalam UUD 1945 itu sendiri bahwasanya UUD 1945 : 1) menganut sistem yang excecutive-heavy (meletakkan tumpuan pada kekuasaan presiden); 2) memuat pasal-pasal yang ambigu (multi-tafsir); 3) terlalu banyak memuat atribusi kewenangan untuk mengatur hal-hal penting yang diberikan kepada lembaga legislatif (Dewi, dkk, 2013).

Kedua, mengenai reposisi TNI dan Polri yang perlu kita perhatikan ialah rekonstruksi kembali dwifungsi ABRI. Kita perlu memerhatikan bagaimanakah pembenahan fungsi dan peran TNI/Polri apakah sudah berjalan dengan baik atau tidak. Meskipun tak bisa dipungkiri peran militer dalam perpolitikan Indonesia sampai saat ini masihlah besar. Hal tersebut dibuktikan dengan langgengnya dua periode presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatar belakang militer. Begitupula ketika kita perhatikan setiap Pemilu yang tidak pernah kehilangan calon-calon presiden berlatar belakang militer. Kita memang perlu mengakui adanya perdebatan mengenai peran militer dalam politik ini sehingga dibutuhkan rekonstruksi dan analisis yang lebih mendalam untuk memahami peran militer dalam politik.

Ketiga, berkaitan dengan penegakan supremasi hukum yang bisa dikatakan masih sangat jauh dari pencapaian. Dalam hal ini kita sangat perlu untuk mengevaluasi setiap lembaga yang berperan baik dalam eksekutif, legislatif, maupun yudikatif serta lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Pada kenyataannya saat ini kita masih seringkali mendengar kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak.

Keempat, tentang pembangunan good governance dan clean government masih sangat jauh dari harapan. Salah satu cara untuk mencapai agenda keempat ini ialah dengan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada kenyataannya hal ini semakin jauh dari harapan melihat maraknya kasus-kasus yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut meskipun pada tahun sejak tahun 2003 pemerintah sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ironisnya, KPK mencatat dalam laporan tahunan 2014 masih ada sekitar 95 kasus dalam tahap supervisi, 2 kasus pada tahap pengambilalihan, 8 kasus pada tahap pelimpahan, 51 kasus pada tahap klarifikasi, dan 68 kasus pada tahap koordinasi (Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, 2014). Data tersebut membuktikan bahwasanya pembangunan good governance dan clean government masihlah jauh dari harapan bahkan cenderung menemui kegagalan.

Kelima, mengenai otonomi daerah di atas kertas memang sudah terlaksana. Hal tersebut dibuktikan dua undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Akan tetapi pada pelaksanaannya, apakah hal-hal yang tertera dalam kedua undang-undang tersebut sudah terlaksana dengan baik? Kita masih perlu melakukan evaluasi lebih lanjut mengenai hal tersebut. Selain itu, penyimpangan-penyimpangan lainnya yang juga berkaitan dengan poin keempat di atas juga masih kerapkali terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut.

Keenam, berkenaan dengan mendorong berbagai macam kebebasan seperti freedom of speech, freedom of expression, freedom of the press, freedom of religion, dan freedom from fear sampai saat ini dalam upaya perbaikan yang semakin membaik. Hal tersebut bisa kita lihat dari kebebasan kita dalam menyuarakan aspirasi kepada pemerintahan melalui berbagai macam hal. Meskipun demikian tidak semua hal yang disebutkan di atas sudah benar-benar berjalan dengan baik. Di samping itu, diperlukan redefinisi kebebasan seperti apa yang dikehendaki dalam reformasi ini mengingat banyaknya penyimpangan-penyimpangan sosial yang terjadi saat ini dengan dalih kebebasan untuk berekspresi dan lain-lain.

Jika melihat analisis keenam agenda reformasi di atas, kita patut menyadari bahwasanya masih banyak hal-hal yang harus dibenahi dalam proses reformasi ini. Bisa dikatakan mayoritas agenda reformasi tersebut masih belum tercapai hingga saat ini, walaupun terus diupayakan perbaikannya. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya yang benar-benar serius dari semua pihak dalam mengatasi dan mengantisipasi kegagalan-kegagalan tersebut menuju penuntusan reformasi. Jika kita kaitkan dengan teori reformasi Guy Peters, bisa jadi kegagalan mayoritas agenda reformasi tersebut disebabkan oleh kurang selektifnya pemilihan ide dan konsep reformasi agar sesuai dengan semangat perubahan di dalam lembaga tersebut dalam konteks ini lembaga-lembaga negara.

Demokrasi dan Demokratisasi

Demokrasi bukanlah menjadi barang baru di Indonesia. Sejak masa awal berdirinya Indonesia, demokrasi sudah menjadi sistem politik yang dianut dengan pasang-surut perkembangannya.  Berkaitan dengan hal tersebut, Henry B. Mayo dalam bukunya Introduction to Democratic Theory memberi definisi sistem politik demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Mayo, 1960).

Dipandang dari sejarah perkembangannya demokrasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam empat masa, yaitu (Budiardjo, 2010):

a.Masa Demokrasi Konstitusional/Liberal (1945-1959)

Masa demokrasi konstitusional/liberal menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai, oleh karena itu disebut juga dengan demokrasi parlementer.

b.Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Masa demokrasi terpimpin menunjukkan banyak aspek yang menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.

c.Masa Demokrasi Pancasila (1965-1998)

Masa demokrasi pancasila sesuai namanya memiliki landasan formal Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, serta Ketetapan-Ketetapan MPRS. Pada masa ini sistem pemerintahan presidensil sangat menonjol

d.Masa Demokrasi era Reformasi (1998-sekarang)

Masa reformasi menginginkan tegaknya reformasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa sebelumnya.

Dari keempat masa tersebut, era reformasi merupakan satu-satunya masa yang masih dalam proses dan berjalan. Akan tetapi sadarkah kita bahwasanya ketiga masa sebelumnya hanyalah merupakan pseudo-demokrasi atau demokrasi semu?  Ketiga masa sebelumnya bisa dikatakan Indonesia hanyalah berada dalam demokrasi semu, terutama pada masa demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila. Demokrasi yang sejatinya menghendaki partisipasi rakyat dalam pemerintahan justru sangat tereduksi pada kedua masa tersebut. Secara gagasan memang benar saat itu Indonesia menganut demokrasi, akan tetapi pada praktiknya justru menunjukkan dominasi presiden dan militeristik. Bisa dikatakan kedua era demokrasi sebelum era reformasi ini merupakan era demokrasi yang gagal. Lantas, yang menjadi pertanyaan besarnya ialah bagaimana dengan demokrasi di Indonesia pada masa reformasi ini?

Kita perlu memahami bahwasanya reformasi merupakan langkah nyata dari demokratisasi di Indonesia. Demokratisasi sebagai sebuah proses pendemokrasian tentunya tidak serta merta mudah dijalankan. Kita perlu menyadari bahwasanya 17 tahun setelah reformasi yang sampai saat ini masih berlangsung, perkembangan demokrasi kita belumlah mencapai tahapan yang ideal. Perkembangan demokrasi secara prosedur mengalami perkembangan yang cepat dan massif, sementara secara substansi demokrasi seakan berjalan di tempat. Hal ini membuktikan bahwa secara prosedural, demokrasi politik di Indonesia mengalami kemajuan sementara secara substantif, demokrasi di Indonesia masih belum bisa dikatakan optimal.

Kendati demikian, setelah 17 tahun gerakan reformasi digulirkan setidaknya berbagai langkah untuk mendemokratisasikan institusi-institusi dan prosedur-prosedur politik Indonesia telah dilakukan dengan sejumlah transformasi yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif bebas dan berkala, kebebasan berkumpul dan berekspresi, keluasan akses informasi, desentralisasi dan otonomisasi, dan pemilihan presiden dan pilkada secara lebih kompetitif (Latif, 2011). Dari langkah-langkah yang telah dilakukan di atas yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, bisakah langkah-langkah tersebut menunjukkan suksesnya pembangunan demokrasi di Indonesia? Kembali ke pernyataan pada paragraf sebelumnya, gambaran demokrasi kita saat ini secara prosedural memang mengalami kemajuan, namun secara substansial masih belum signifikan berubah.

Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Kita harus menyadari bahwasanya pertumbuhan demokrasi kita tidak sama dengan pertumbuhan demokrasi di Amerika Serikat yang pada awal masa pertumbuhannya ditandai dengan kesetaraan dalam ekonomi, pendidikan, dan kemampuan dalam memepertahankan diri. Sebagai negara bekas jajahan, tentunya masyarakat kita hidup dalam kondisi ketimpangan sosial yang cukup jauh antara satu lapisan dengan lapisan yang lain. Padahal ketiga hal tersebut bisa dikatakan sebagai prasyarat kesetaraan yang penting menuju demokrasi. Jika prasyarat kesetaraan tersebut tidak terpenuhi, watak pemerintahan yang akan muncul hanya akan menimbulkan demokrasi semu dan sejauh yang berkembang hanyalah oligarki dalam mantel demokrasi.

Dalam demokrasi yang bercorak oligarkis, kita juga harus bersiap-siap menghadapi tantangan besar lainnya. Kebebasan merupakan sebuah implikasi logis dari demokratisasi. Akan tetapi dari sini kita dapat melihat demokratisasi tidak selalu mengarah pada kesetaraan, justru bisa saja memperlebar ketidaksetaraan. Liberalisasi dalam politik memicu terjadinya liberalisasi dalam ekonomi. Pemilik modal yang besar akan semakin terpacu untuk mengembangkan bisnisnya. Hasilnya kapitalisasi secara besar-besaran pun terjadi. Pertumbuhan ekonomi tersebut juga tidak diikuti dengan pemerataan sebagai bentuk empati untuk kesetaraan. Sehingga demokrasi yang diharapkan pun gagal mencapai tujuan.

Semakin melebarnya ketidaksetaraan tersebut sesungguhnya bisa menjadi titik tolak untuk memahami politik Indonesia kontemporer. Ketidaksetaraan material yang ekstrem niscaya akan menghasilkan ketidaksetaraan yang juga ekstrem (Winters, 2014). Selain itu kita juga perlu memahami bagaimana dampak kekuasaan material tersebut di Indonesia. Di Indonesia, dampak kekuasaan material pada politik umumnya terlalu dibesar-besarkan karena dua alasan utama: 1) batas efektif terhadap penggunaan uang untuk tujuan politik dan pertahanan kekayaan sangat sedikit; 2) sumber daya kekuasaan lain yang bisa mengimbangi (khususnya dalam tubuh civil society) masih sangat lemah. Oleh karenanya ekspresi kekuasaan oligark bisa sangat besar bahkan lebih besar dari kekuasaan mereka pada era kekuasaan rezim Soeharto.

Tantangan Utama Demokratisasi: Oligarki dan Penyakit Mental

Oligarki

Tak bisa dipungkiri bahwasanya oligarki menjadi tantangan besar menuju demokrasi yang substantif. Meskipun oligarki yang terjadi saat ini juga lahir dari proses demokratisasi, namun justru oligarki pula yang menggagalkan proses menuju demokrasi itu sendiri. Sebab utamanya ialah prasyarat kesetaraan dalam proses demokratisasi itu tidak terpenuhi. Sehingga yang pada awalnya ialah bertujuan untuk menciptakan kesetaraan justru malah memperlebar kesenjangan.

Salah satu bentuk kekuasaan para oligark ialah melalui media massa. Mungkin masih hangat dalam ingatan kita pada Pemilu 2014 lalu bagaimana berita-berita di media massa kerapkali mengampanyekan ketokohan sang pemilik ataupun koalisi yang berada di pihaknya. Bahkan media-media yang dimiliki oleh pihak yang berlawanan cenderung saling serang sehingga berita-berita yang disajikan memiliki redaksi yang kontradiktif meskipun satu peristiwa yang sama. Padahal, jika kita teliti lebih jauh hal tersebut sangatlah tidak etis sebab frekuensi publik sepatutnya digunakan untuk kepentingan publik. Penguasaan terhadap media massa ini tentunya akan berdampak pada ketimpangan kekuatan politik dan pengetahuan publik. Hasilnya, siapa yang dapat menguasai media, dialah yang akan menjadi penguasa.

Lima Penyakit Mental

Dalam proses demokratisasi di era reformasi ini, pembangunan seharusnya bukan hanya terbatas pada pembangunan prosedur dan praktik berdemokrasi. Akan tetapi, diperlukan kemampuan sumber daya yang memadai dalam menjalankan proses demokratisasi tersebut. Setidaknya ada lima penyakit mental yang menjadi tantangan dalam proses demokratisasi di era reformasi ini. Amien Rais menyebutkan lima penyakit mental itu ialah mentalitas permisif, menyeruaknya money politic, suasana hipokrisi, egosentris, dan melemahnya patriotisme dan nasionalisme (Rais & dkk, 2001).

Kelima penyakit mental ini tentunya sangatlah penting untuk segera kita atasi demi menunjang keberhasilan demokratisasi itu sendiri. Demokrasi tidak akan pernah tercapai jika tidak didahului oleh pembangunan mental manusia yang siap untuk menopangnya. Menurut hemat penulis, salah satu hal yang sangat perlu diperhatikan ialah pendidikan. Dalam hal ini pendidikan haruslah diiringi dengan pendidikan karakter sebagai upaya untuk membangun mental bangsa Indonesia yang siap untuk menopang proses demokratisasi di era reformasi.

Daftar Pustaka

Budiardjo, M. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dewi, R. I., & dkk. (2013). Buku Ajar III MPKT A: Bangsa, Negara, dan Pancasila. Depok: Universitas Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. (2014). Laporan Tahunan KPK.

Latif, Y. (2011). Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi. Retrieved from Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/kki2013/wp-content/uploads/sites/46/2013/10/yudi-latif_demokrasi-berkebudayaan-dan-budaya-berdemokrasi.pdf.pdf

Mayo, H. B. (1960). An Introduction to Democratic Theory. New York: Oxford University Press.

Peters, B. G. (2002). The Politics of Bureaucracy 5th ed. London & New York: Routledge.

Rais, M. A., & dkk. (2001). Reformasi Dalam Stagnasi. Jakarta: Yayasan Penerbit Al Amanah.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca Amandemen. (n.d.).

Winters, J. A. (2014). Oligarki dan Demokrasi di Indonesia. Prisma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun