Mohon tunggu...
BEM FISIP UI 2015
BEM FISIP UI 2015 Mohon Tunggu... -

Kanal media resmi BEM FISIP UI 2015 | Kolaborasi Karya Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tuntutan BEM FISIP UI 2015 terkait KPK-POLRI: 1) Penguatan KPK diiringi dengan Transparansi

21 Maret 2015   16:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:19 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015

Pada dasarnya, tuntutan BEM FISIP UI 2015 terkait upaya pemberantasan korupsi adalah sesuai dengan apa yang memang disepakati bersama di forum Sospolnet. Diantaranya yaitu:

1)Penguatan KPK diiringi dengan Transparansi

Penguatan KPK yang dimaksud sesuai dengan tuntutan yang disepakati  BEM se-UI sebagaimana Kastrat BEM FH UI 2015 nyatakan pula yaitu perlu pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan KPK untuk merekrut penyidik dan penuntut independen dan perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai pemberhentian sementara dan pengunduran diri pimpinan KPK agar potensi kriminalisasi terhadap komisioner KPK bisa diminimalisir.

Kastrat BEM FISIP UI 2015 menekankan pentingnya transparansi untuk mengiringi penguatan KPK ini. UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK pasal 20 ayat (1) dan (2) sudah menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan aporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sehingga, sebagai lembaga yang bertanggungjawab pada publik, sudah seharusnya KPK lebih transparan dan memberi ruang keterlibatan masyarakat yang lebih luas. Transparansi yang dilakukan KPK pun diyakini justru akan menguatkan KPK sendiri.

Salah satu kekuatan KPK adalah legitimasi yang diberikan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dengan kuatnya dukungan terhadap KPK saat munculnya indikasi pelemahan lembaga tersebut oleh Polri. Banyak bentuk dukungan yang diberikan oleh masyarakat, seperti #SaveKPK yang menjadi trending topic di media sosial, aksi turun ke jalan, konser simpatik, dsb.

Namun legitimasi yang dimiliki KPK belumlah maksimal karena masih ada beberapa pihak yang mencurigai KPK sebagai alat politik kalangan elit tertentu. Hal itu terjadi paska ditetapkannya Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka bertepatan dengan pencalonan dirinya menjadi Kapolri. Banyak pihak yang berasumsi bahwa tindakan KPK tersebut sarat dengan kepentingan politik.

Apa yang dapat KPK lakukan untuk menghilangkan pikiran skeptis masyarakat tentang keberpihakan lembaga tersebut terhadap elit politik tertentu?Di dalam negara demokrasi, cara untuk memenangkan kepercayaan publik adalah memberikan transparansi. Ketidakpercayaan publik dapat ditangkal dengan keterbukaan informasi mengenai banyak hal yang selama ini dirahasiakan KPK. Transparansi juga dapat menjaga iklim demokrasi yang sehat. Ketidakpercayaan sebagian pihak timbul karena sifat KPK yang dianggap superbody, tidak ada lembaga yang memiliki wewenang khusus mengawasi KPK. Bila seperti ini, kita tidak dapat mengatakan bahwa KPK akan selalu bersih. Menyitir Eaton, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutelly.”

Tugas mengawasi ini sudah semestinya diemban oleh masyarakat. Seperti yang sudah kita ketahui, KPK adalah lembaga independen yang netral dan tidak berdiri di bawah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Maka, KPK langsung bertanggungjawab kepada rakyat dan laiknya pihak yang dipertanggungjawabi, rakyat memiliki kewenangan penuh untuk mengawasi KPK.

Bagaimana bentuk transparansi yang dapat diberikan KPK?

Bila kita mengakses web resmi KPK, kita akan menemukan laporan keuangan tahunan dan kasus-kasus yang sedang berjalan. Informasi-informasi tersebut dipublikasikan KPK karena tuntutan publik atas transparansi. Secara hukum, KPK juga berkewajiban memberikan laporan tahunan kepada DPR. Namun masih sangat banyak hal-hal yang dirahasiakan oleh KPK.

Kita dapat mengambil contoh dari Independent Commission Against Corruption di Australia. Mereka memberikan transparansi dengan memberikan informasi-informasi mengenai kasus korupsi di web resmi, kepada media, dan laporan tahunan kepada House of Parliament. Informasi-informasi tersebut sangat mudah diakses oleh publik. Seperti yang tercantum pula di dalam web resminya, mereka mengatakan publikasi informasi-informasi tersebut adalah bentuk tanggungjawab mereka kepada publik.

Informasi-informasi yang mereka publikasikan di antara lain investigasi di masa lampau, investigasi yang sedang berjalan, proses investigasi, orang-orang yang terlibat dalam investigasi, dan informasi paska-kasus. Informasi paska-kasus biasanya berbentuk laporan yang dapat diunduh dari web resmi mereka. Laporan tersebut berisi detail investigasi kasus yang bersangkutan seperti latar belakang kasus, runtutan aktivitas pelaku, tempat terjadinya korupsi, tindakan yang dilakukan petugas, dsb. Informasi tersebut dapat diakses di: http://www.icac.nsw.gov.au/investigations/investigations-publications

Transparansi macam ini yang semestinya dilakukan pula oleh KPK. Kita dapat mengetahui siapa saja yang terlibat dalam sebuah kasus, apa saja buktinya, proses investigasinya, dan alasan penetapan bersalahnya. Merujuk pada teori demokrasi liberal Barber, hal-hal yang dapat terjadi pada masyarakat demokrasi adalah immobilisasi atau apatisme. Keadaan tersebut dapat terjadi karena iklim demokrasi yang tidak dapat memberikan rangsangan masyarakat untuk bepartisipasi dalam kegiatan politik. Barber menambahkan, keuntungan yang akan didapat dari demokrasi partisipatoris adalah pembentukan gerakan untuk memperjuangkan kepentingan bersama dan kebenaran. Maka dari itu, transparansi dibutuhkan untuk menjaga keleluasaan masyarakat untuk ikut andil dalam politik.

Benjamin R. Barber, Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age, (Berkeley: University of California Press, 1984).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun