Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015
Tuntutan ini lah yang sebenarnya menjadi fokus bagi BEM se-UI dalam upaya mengawal proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Walaupun pengajuan Budi Gunawan (BG) telah dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo sendiri, namun disetujuinya BG sebagai Kapolri oleh DPR RI perlu menjadi catatan mengingat BG sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sehingga, untuk proses pengajuan calon Kapolri berikutnya, perlu keterlibatan lembaga independen yang mampu mengungkap data keuangan calon Kapolri tersebut.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga penegak hukum di Indonesia seperti diketahui akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Hingga kini, Polri belum memiliki pimpinan/kepala definitif. Hal ini berawal dari keputusan Presiden Joko Widodo yang “memensiunkan dini” Kapolri Jenderal Pol Sutarman tanpa alasan yang jelas dan presiden pun kemudian mengajukan calon baru untuk disetujui oleh DPR RI. Presiden Joko Widodo mengajukan satu nama yaitu Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal pengganti Sutarman. Namun, publik dikejutkan dengan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya berselang beberapa hari dari pencalonan dirinya sebagai Kapolri yaitu pada tanggal 13 Januari 2015. Budi Gunawan (BG) diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima hadiah atau janji pada saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri periode 2003 – 2006 dan jabatan lainnya di Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hadiah tersebut diduga diberikan untuk menggerakkan yang bersangkutan melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewaijbannya. Atas perbuatannya, Budi Gunawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.
Hasil praperadilan yang diajukan Budi Gunawan memang memenangkan dirinya dan hakim menganggap penetapan dirinya sebagai tersangka tidak sah. Namun, hasil praperadilan itu masih mengundang banyak pertentangan karena hakim dianggap melampaui kewenangannya. Praperadilan ditujukan sebagai lembaga koreksi atas prosedur hukum acara (formil) yang dikenakan kepada tersangka. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur secara detail dan limitatif objek gugatan praperadilan. Objek gugatan praperadilan menurut Pasal 77 KUHAP adalah tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Lainnya adalah ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Sehingga dari batasan objek praperadilan tersebut, maka putusan praperadilan yang memenangkan Budi Gunawan sama sekali tidak masuk substansi perkara (materil) karena hal tersebut merupakan kompetensi absolut dari pembuktian di persidangan. Publik pantas mempertanyakan mengapa seseorang yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi bisa dicalonkan menjadi seorang Kapolri dan bahkan DPR RI sendiri menyetujuinya. Pertanyaan ini menjadi menarik karena sebenarnya setiap calon Kapolri melalui beberapa tahap dalam proses pencalonannya termasuk menjalani fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan)di DPR RI. Apakah ada yang salah dari proses pemilihannya tersebut?
Fit and proper test terdiri dari dua kata utama yaitu “fit” dan “proper” (Inggris). Kedua kata tersebut sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu pantas, patut, atau layak. Sehingga, secara sederhana banyak yang mengartikan fit and proper test sebagai tes kepantasan, kepatutan, dan kelayakan, yang dipadatkan dalam kalimat tes kemampuan dan kepatutan. Dapat dimaknai bahwa fit and proper test seharusnya benar-benar mampu menguji kemampuan dan kepatutan seorang calon Kapolri. Kata “kepatutan” jangan sampai diabaikan karena mungkin saja seseorang secara kemampuan sebenarnya mampu untuk menjalani tugas-tugas sebagai Kapolri, namun apakah ia patut untuk memimpin? Kepatutan ini mencakup di dalamnya pertanyaan-pertanyaan seperti apakah publik percaya kepada dia, kemudian apakah track record keuangan dia bersih atau tidak? Apakah dia pernah melakukan tindakan melanggar hukum?,
Pengangkatan Kapolri memang menjadi kewenangan presiden sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bunyi pasal tersebut adalah “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”. Dalam mengusulkan nama calon Kapolri kepada DPR RI, Presiden mempertimbangkan usulan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Hal ini dikukuhkan dalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 yang secara jelas menyatakan bahwa tugas Kompolnas antara lain memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dari proses tersebut, dapat dipahami bahwa nama calon Kapolri telah melalui proses penggodokan setidaknya oleh 3 institusi/lembaga, yaitu dari Kompolnas, kemudian presiden sendiri sebagai lembaga eksekutif, dan DPR RI sebagai lembaga legislatif. Proses fit and proper test nya pun berarti tidak terbatas pada tahapan di DPR RI, namun juga ketika pada tahapan di Kompolnas dan ketika usulan nama calon Kapolri tersebut masuk ke presiden. Artinya, fit and proper test disini mencakup proses dari awal hingga penetapan.
Fit and proper test merupakan sarana yang tepat untuk menutup celah agar calon Kapolri yang akan diuji benar-benar bersih dari tindak pidana korupsi. Sebagai bentuk pencegahan, seharusnya pemerintah maupun dewan di parlemen bisa memanfaatkan lembaga negara yang mampu mengungkap aliran dana gelap, seperti Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Keberadaan PPATK merupakan langkah konkret dari pelaksanaan UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Di dalam pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) No. 48 tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelaporan Analsis dan Transaksi Keuangan, dijelaskan bahwa PPATK memiliki tugas untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kemudian di dalam Pasal 4 Perpes No. 48 tahun 2012 tersebut, fungsi PPATK dijabarkan antara lain: a) pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; b) pengelolaan data dan pengelolaan informasi yang diperoleh PPATK; c) pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan d) analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dengan fungsi pencegahan yang dimiliki oleh PPATK, seharusnya PPATK diberikan ruang untuk bisa mencegah lembaga penegak hukum seperti Polri dipimpin oleh orang yang memiliki transaksi keuangan yang mencurigakan. Namun, PPATK masih memiliki keterbatasan yaitu PPATK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Oleh karena itu, dengan dirilisnya data keuangan oleh PPATK, harapannya publik bisa merespon dan melaporkan pada KPK apabila ada hal-hal yang mencurigakan. Keterlibatan publik pun akhirnya diharapkan meningkat dengan mekanisme seperti ini. Dari penjelasan diatas, harapannya perspektif yang dibangun adalah membuka peluang keterlibatan PPATK di dalam proses fit and proper test.
Ketika Presiden mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, publik mempertanyakan mengapa PPATK tidak dilibatkan seperti saat pemilihan menteri-menteri di Kabinet Kerja? Saat memilih Jaksa Agung, Presiden Joko Widodo juga tidak melibatkan PPATK. Ada indikasi bahwa Presiden menggunakan PPATK saat pemilihan menteri untuk menghindari kepentingan politis yang berlebihan dari partai politik pengusungnya. Sebenarnya hal tersebut tidak masalah dan cenderung positif jika melibatkan PPATK. Namun, saat memilih Jaksa Agung dan Kapolri, Presiden Joko Widodo tampak “takluk” dari kepentingan politis orang-orang di belakangnya sehingga ia sudah tidak kuasa melibatkan PPATK. Presiden Joko Widodo terkesan membiarkan orang-orang “pesanan” dari elit-elit partai melanggeng mendapatkan jabatan publik. Politik merupakan the art of the possible, sehingga tidak bisa disalahkan apabila publik mencoba menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sudah bukan menjadi rahasia kalau Budi Gunawan memiliki hubungan yang dekat dengan Megawati. Budi Gunawan adalah mantan ajudan Megawati saat ia menjabat sebagai Presiden RI. Jaksa Agung H.M. Prasetyo juga merupakan orang dekat Surya Paloh sehingga pantas apabila publik mulai berasumsi negatif.
Keterlibatan PPATK di dalam proses pemilihan Kapolri memang tidak diatur di dalam undang-undang, namun bukan berarti melibatkan kedua institusi tersebut melanggar undang-undang. Terbukti, Presiden bisa melibatkan mereka dalam penyusunan Kabinet Kerja seperti dijelaskan diatas. Poin penting yang harus diperhatikan adalah adanya keinginan yang kuat dari masyarakat agar Presiden Joko Widodo melibatkan PPATK dalam pemilihan Kapolri. Keinginan kuat masyarakat ini seharusnya didengar oleh pemerintah dan menjadikan proses pemilihan Kapolri lebih transparan dan akuntabel.
Menjadi Kapolri bukanlah tugas yang mudah. Terlebih lagi Polri terlanjur memiliki citra buruk di masyarakat. Hasil survey Transparency International Indonesia (TII) di tahun 2013 menunjukkan bahwa kepolisian dinilai responden sebagai lembaga yang paling korup / bercitra paling buruk. Kepolisian mendapatkan persentasi 91%, kemudian dilanjutkan dengan partai politik dan parlemen sebesar 89%, dan PNS sebesar 79%. Citra buruk kepolisian ini seharusnya tidak ditambah dengan polemik dalam proses pemilihan Kapolri. Dibutuhkan political will dari pemerintah termasuk para wakil rakyat untuk segera mengatasi persoalan seperti ini. Dengan melibatkan PPATK dalam proses pemilihan Kapolri, maka hal ini juga akan membantu Polri memperbaiki citranya.
Keterlibatan KPK dan Polri juga menjadi manifestasi untuk perbaikan demokrasi di Indonesia menuju demokrasi deliberatif. Disebut deliberatif karena adanya ruang saling dengar dan berpendapat secara resiprokal antara pemerintah dan masyarakat. Deliberasi dalam bidang politik menawarkan notasi partisipatif yang ideal di mana kemampuan aktor politik bisa diselaraskan dengan tuntutan partisipan untuk menghasilkan konsensus-konsensus politik dalam rangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bersama lewat kebijakan publik. Masyarakat sebagai partisipan di dalam dunia politik telah mendesak pemerintah baik itu eksekutif maupun legislatif untuk melibatkan PPATK dalam proses pemilihan Kapolri. Ini pun sebenarnya juga demi kepolisian yang lebih baik. Maka dari itu, pemerintah seharusnya menyesuaikan keputusan yang diambilnya dengan kehendak rakyat. Dengan demikian demokrasi tidak bisa lagi dimaknai sebagai kendaraan untuk mewakili agregasi kepentingan individual melainkan sebagai jalan untuk menciptakan arena publik yang mampu meredam konflik melalui dialog daripada penyelesaian yang dilakukan oleh tubuh kekuasaan. Konflik yang dimaksud adalah pertarungan kepentingan antara penguasa dan masyarakat sipil, yaitu keinginan masyarakat untuk melibatkan PPATK di tengah sikap acuh pemerintah terkait kehendak tersebut.
Dengan upaya menciptakan demokrasi yang deliberatif, maka hal ini selaras pula nantinya dengan upaya membentuk open government. Open government merupakan suatu hal yang membahas akses warga terhadap informasi yang dimiliki/dikeluarkan pemerintah. Hal ini penting untuk mengetahui apa yang diputuskan, oleh siapa, dan mengapa. Aspek lain dari open government adalah membuka proses pengambilan keputusan yang sedang dibuat. Indonesia sebenarnya telah mendirikan Open Government Indonesia (OGI) sejak tahun 2011. OGI merupakan sebuah gerakan untuk membangun pemerintahan yang lebih terbuka, lebih partisipatif dan lebih inovatif. Demi mewujudkan pemerintahan Indonesia yang terbuka, tentu harus dimulai dari proses rekrutmen yang baik termasuk proses seleksi pimpinan lembaga publiknya.
Upaya pemerintah untuk menciptakan open government akan menjadi ironi apabila dalam pemilihan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) tidak melibatkan PPATK di dalam prosesnya. Terlebih, open government sangat berkaitan dengan akuntabilitas yang dalam arti sederhanya dimaknai sebagai suatu kebutuhan dari organisasi publik (atau mungkin inidividu) untuk memberikan laporan pertanggungjawaban kepada organisasi lain dan menjelaskan tindakannya. Laporan pertanggungjawaban disini bisa kita artikan sebagai laporan keuangan yang bersangkutan dan apabila terindikasi ada hal-hal yang mencurigakan, maka seharusnya mereka bersedia diperiksa. Selain akuntabilitas, aspek publisitas juga penting untuk membentuk open government. Contoh negara yang bisa dijadikan tauladan soal publisitas lembaga publiknya adalah Swedia. Di Swedia pejabat publik dideskripsikan bekerja di dalam “akuarium ikan emas/goldfish bowl” karena hampir semua tindakan yang mereka dilakukan dapat diakses oleh publik. Jabatan Kapolri bukanlah jabatan yang main-main, sehingga sudah sepatutnya orang yang menduduki jabatan tersebut diperiksa terlebih dahulu track recordnya dengan harapan ini menjadi langkah awal agar Polri secara institusi bisa lebih transparan dan akuntabel ke depannya.
Keterlibatan PPATK sekali lagi memang bukan kewajiban yang diatur dalam hukum positif. Sebagai negara hukum layaknya yang diamanahkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, hendaknya hukum mampu merepresentasikan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Kemudian Indonesia sebagai negara demokratis dan pemegang kedaulatannya di tangan rakyat, sudah seharusnya pemerintah dan parlemen mengikuti kehendak rakyat. Masyarakat telah mendesak Presiden Joko Widodo dan jajarannya untuk melibatkan PPATK dalam proses pemilihan Kapolri. Masyarakat sebagai partisipan di dunia politik perlu diberikan ruang yang lebih jauh untuk pendewasaan demokrasi kita menuju demokrasi deliberatif. Keterlibatan kedua institusi ini juga untuk mendukung program pemerintah yaitu Open Government Indonesia, sehingga akan begitu ironi apabila pemerintah seolah-olah menjilat ludahnya sendiri. Semakin ironis apabila pemerintah menerapkan open government hanya apabila hal tersebut sesuai dengan kepentingannya, misalnya saat Presiden memilih menteri, namun tidak digunakan apabila mengancam kepentingannya.Keterlibatan PPATK dalam proses pemilihan Kapolri sebenarnya juga membantu Polri memperbaiki citra buruknya di mata masyarakat. Maka dari itu, kami sangat berharap pemerintah dan parlemen mendengarkan suara-suara rakyat untuk segera melibatkan PPATK dalam proses pemilihan Kapolri agar penegakan hukum di Indonesia semakin lebih baik dengan mengedepankan aspek akuntabilitas dan transparansi.
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, ”KPK Tetapkan BG (Kalemdikpol) Tersangka”, diakses dari http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2431-kpk-tetapkan-bg-kalemdikpol-tersangka, pada tanggal 17 Februari 2015 pukul 21.26 WIB.
Ibid.
Asrul Ibrahim Nur, “Pemberantasan Korupsi dan Objek Gugatan Praperadilan”, diakses dari http://theindonesianinstitute.com/pemberantasan-korupsi-dan-objek-gugatan-praperadilan/ pada tanggal 5 Maret 2015 pukul 15.30 WIB.
Ibid.
Ibid.
Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Manajemen Fit and Proper Test, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama, 2004), hal. 77.
Shanti Rachmadsyah, “Bagaimana Cara Penyelidikan yang Dilakukan PPATK?”, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3567/bagaimana-cara-penyelidikan-yang-dilakukan-ppatk tanggal 27 Februari 2015 pukul 16.47 WIB.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo, 2010), hal. 13.
Ananda Badudu, et.al., “Tiga dari Empat Orang Indonesia Menyuap Polisi”, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/11/063495360/Tiga-dari-Empat-Orang-Indonesia-Menyuap-Polisi tanggal 26 Februari 2015 pukul 18.27 WIB.
Muhammad Faishal, "Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoretik," Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Volume 11, No. 1 (Juli, 2007), hal. 1-30.
Anthony Giddens, Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics, (Stanford: Stanford University Press), hal. 16 seperti dikutip oleh Muhammad Faishal, "Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoretik," Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Volume 11, No. 1 (Juli, 2007), hal. 9.
B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy 5th Ed., (London: Routledge, 2001), hal. 308.
“Tentang OGI,” diakses dari http://opengovindonesia.org/keterbukaan/tanggal 2 Maret 2015 pukul 16.30 WIB.
Peters, op.cit., hal. 300.
Peters, op.cit., hal. 307.67
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H