Oleh Nadiah Khansa Nasution, Staff Departmen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI 2014
“...Bahwa saya, dengan sekuat tenaga akan mengusahakan kesejahteraan Republik Indonesia,...” – sumpah menteri dan wakil menteri Republik Indonesia.
Indonesia yang dulunya terkenal memiliki Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim terbesar, teramat miris dengan kondisi tata kelola kelautannya saat ini. Indonesia yang memiliki garis pantaisepanjang 95.181 kilometer dan luas perairan sekitar 5,8 juta kilometer persegi, seharusnya bisa menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat khususnya nelayan. Akan tetapi, kekayaan laut yang melimpah tersebut tidak dikelola dengan baik. Terbukti dengan adanya pencurian kekayaan laut yang dilakukan oleh pihak asing. Potensi kerugian Indonesia akibat pencurian ikan mencapai Rp30.000.000.000,- per tahun (Food Agricultural Organization). Jumlah tersebut berequivalen dengan setengah dari hasil perikanan tangkap laut Indonesia dengan nilai produksinya mencapai Rp60.000.000.000,- di tahun 2011. Seandainya dana sebesar itu menjadi milik negeri ini, tentu dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur Indonesia.
Nelayan kecil semakin terpuruk
Ternyata, pencurian ikan di laut Indonesia juga diperparah dengan adanya pemberian izin kepada pemilik kapal asing untuk menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Pemberian izin kepada pemilik kapal asing untuk menangkap ikan di wilayah perairan nusantara dapat meminggirkan nasib nelayan dan menciptakan industri perikanan nasional semakin meredup. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan bahan baku. Nelayan Indonesia yang pada umumnya hanya menggunakan perahu kecil sudah pasti kalah bersaing dengan kapal-kapal asing yang besar dan dilengkapi dengan teknologi penangkapan, alat navigasi, dan komunikasi canggih. Pada akhirnya, nelayan Indonesia berada dalam keterpurukan. Faktanya, kapal-kapal asing tersebut berbendera ganda. Mereka menggunakan Bendera Merah Putih pada saat berada di perairan laut Indonesia dan bedera berganti ke warna asal negara pada saat mengantar hasil tangkapan. Kurang lebih sebanyak tujuh ratus kapal asing melakukan penyalahgunaan izin yang dapat menjadi besar ketika aparat ikut terlibat dalam pengurusan surat izin usaha perikanan, penangkapan ikan, dan izin kapal pengangkut ikan.
Pemberhentian izin kapal ikan
Pemberlakuan kebijakan moratorium pemberhentian sementara atau moratorium pemberian izin kapal ikan yang telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan Asasi Manusia merupakan salah satu langkah pembenahan di sektor kelautan dan perikanan yang dicanangkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja era Joko Widodo, Susi Pudjiastuti. Moratorium ini bertujuan untuk mencegah pencurian perikanan di Indonesia, yang belum memiliki batasan mengeksplorasi hasil laut, karena semakin mengkhawatirkan. Di Indonesia, siapapun bisa mengambil ikan tanpa memperhatikan kesinambungan ekosistem laut. Sudah seharusnya ada moratorium untuk menyetop hal ini.Pemerintah akan melakukan evaluasi terkait kapal-kapal yang terdaftar seiring dengan berakhirnya moratorium ini pada akhir Desember 2014. Jumlah kapal ikan berukuran di atas 30 gross tonnage atau kurang lebih 5.400 unit yang 1.200 di antaranya merupakan kapal milik asing (Data Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013).
Pembebasan pungutan kapal di bawah 10 gross tonnage
Selain mengevaluasi perizinan kapal, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang dalam tahap “me-lobby” pemerintah untuk membebaskan retribusi dan pungutan kapal-kapal ukuran kecil di bawah 10 gross tonnage. Sesungguhnya, pihak pemerintah daerah tidak akan kehilangan pemasukan karena biaya pungutan untuk kas daerah akan tergantikan dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi pemerintah daerah-daerah tersebut.
Belum adanya PNBP
Di sisi lain, manfaat dari keberadaan kapal besar, terutama kapal asing, di perairan Indonesia belum ada. Sejauh ini, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun belum ada. Oleh karena itu, kementerian yang dinaungi oleh pemilik pesawat Susi Air ini telah menargetkan bahwa penerimaan negara bukan pajak meningkat enam kali lipat dari Rp250.000.000,- di tahun 2014 menjadi Rp1.500.000.000,- di akhir tahun 2015. Penerimaan negara bukan pajak ini diprioritaskan bersumber dari pemberian izin kapal.
Dengan adanya keseriusan dari negara ini untuk mengembangkan potensi bahari dan memberdayakan nelayan, Indonesia akan terhindar dari krisis ikan dan nelayan kedepannya.
Referensi:
·Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2013
·http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/11/07/152552126/Susi.Saya.Disentil.Sama.Analis.Dibilang.Enggak.Friendly.Investment. (diakses pada hari Sabtu, 8 November 2014 pukul 02.21 WIB)
·http://www.rri.co.id/post/berita/116300/nasional/moratorium_izin_kapal_penangkap_ikan_segera_diberlakukan.html (diakses pada hari Sabtu, 8 November 2014 pukul 02.45 WIB)
·http://www.antaranews.com/berita/462842/menteri-kelautan-nelayan-kecil-jangan-dipungut-retribusi (diakses pada hari Sabtu, November 2014 pukul 04.00 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H