Detroit, kota di Amerika Serikat ini menghebohkan dunia pada tahun 2013 lalu karena statusnya sebagai kota yang mengalami kebangkrutan karena kelesuan ekonomi dan permasalahan pengelolaan keuangan. Mimpi buruk Detroit tampaknya akan dialami pula oleh Republik Indonesia apabila masih saja mengelola anggaran secara tidak tepat. Anggaran yang tidak tepat ini maksudnya adalah penempatan porsi anggaran yang tidak sesuai, sebut saja porsi subsidi BBM yang dari tahun ke tahun masih saja terlalu besar.
Dalam APBN 2015, dinyatakan bahwa subsidi BBM, BBN dan LPG sebesar 291,111 Triliun rupiah. Angka ini mengambil bagian yang sangat besar dari total subsidi Energi yang berjumlah 363,534 Triliun rupiah. Sedangkan sisa 72,422 triliun rupiah sisanya dialokasikan untuk subsidi listrik.
Political Will
Subsidi BBM tentu sangat berkaitan erat dengan Harga BBM, karena besaran subsidi mempengaruhi besaran harga. Jika subsidi dikurangi, tentu saja harga BBM harus dinaikkan. Inilah hubungan sebab akibat yang selalu menghantui pengambil kebijakan di Republik ini. Jika harga BBM naik, rakyat pasti akan menolak dan melawan, karena kenaikan harga BBM akan memiliki efek domino yang memberatkan rakyat, seperti kenaikan harga bahan – bahan  pokok dan bahan konsumsi lainnya, serta kenaikan ongkos transportasi. Kenaikan harga bahan pokok sudah pasti akan sangat memberatkan rakyat, terutama mereka yang berada disekitar garis kemiskinan. Jika pada saat harga normal saja mereka belum tentu bisa makan dengan layak, bagaimana bila harga bahan pokok tersebut naik? Pemerintah pasti berpikir panjang sebelum akhirnya keputusan yang memberatkan rakyat ini harus diambil. Akan tetapi sebenarnya pemerintah sudah menyiapkan program – program kompensasi yang dapat meringankan beban rakyat seperti BLSM, bantuan raskin, PNPM mandiri, dll. Kini kita hanya perlu mempertanyakan seberapa efektifkah program – program ini dijalankan.
Jika harga BBM tidak dinaikkan dan subsidi tidak dikurangi, postur APBN yang tidak sehat karena terlalu besarnya subsidi membuat pengeluaran pemerintah pada pos – pos produktif tidak akan bisa ditambah. Pengeluaran Negara untuk subsidi Energi yang notabene sifatnya konsumtif mencapai 17% dari total APBN. Amat disayangkan jika uang sebesar ini digunakan bukan untuk hal – hal produktif. Andai saja subsidi BBM dikurangi sebesar 100 Triliun dan dialihkan ke pos belanja infrastruktur, tentu akan memberikan manfaat yang sangat besar. Belum lagi ternyata selama ini mayoritas penikmat subsidi BBM justru orang – orang yang tidak pantas. Data BPH migas tahun 2013 menyebutkan bahwa 92% subsidi BBM dinikmati oleh transportasi darat. 53% nya dinikmati oleh pemilik mobil pribadi, sekitar 40% dinikmati oleh pemilik motor, dan 3% oleh kendaraan umum. Data ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah subsidi BBM dinikmati oleh pemilik mobil yang merupakan kelas menengah keatas yang mampu secara ekonomi. Rakyat tidak mampu hanya menikmati 3% dari total subsidi BBM melalui murahnya ongkos kendaraan umum. Jika keadaan seperti ini terus dibiarkan berlanjut, maka  kebangkrutan Indonesia akan semakin dekat.
Tak dapat dipungkiri bahwa kebijakan subsidi BBM ini memang sangat bergantung pada kemauan politik sang Presiden. Apalagi isu harga BBM selalu menjadi isu politik yang sangat seksi untuk menggoyang pemerintah yang sedang berkuasa,tapi di lain sisi ini juga bisa menjadi pencitraan politik bagi pemerintah. Kita lihat saja kejadian menjelang pemilihan umum 2009 saat Presiden menurunkan harga BBM sebanyak 3 kali lalu dijadikan sebagai alasan dalam kampanye beliau sebagai bentuk keberpihakannya pada rakyat. di tahun 2013, Presiden yang sama menginginkan kenaikan harga BBM dan ditentang oleh partai – partai non pemerintah seperti PDIP, Gerindra, dan Hanura, serta satu partai pemerintah, PKS. Partai penentang kenaikan harga BBM ini mengatasnamakan perjuangan mereka sebagai bentuk pembelaan terhadap rakyat kecil yang akan menderita bila harga BBM bersubsidi dinaikkan.
Setiap partai tentu ingin menunjukkan dirinya sebagai partai yang membela rakyat kecil. Penolakan terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi sudah barang tentu merupakan bentuk pembelaan terhadap rakyat yang tidak mau dibuat menderita. Akan tetapi, persetujuan terhadap kenaikan harga BBM pun juga tidak otomatis menjadi bentuk ketidakberpihakan pada rakyat. Justru kenaikan harga BBM yang ditindaklanjuti dengan realokasi pada sektor – sektor produktif menjadi perangsang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang secara tidak langsung akan berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Setelah 20 Oktober 2014, beban berat akan disandang oleh Bapak Joko Widodo sebagai Presiden baru Republik Indonesia. Kebijakan subsidi BBM akan diputuskan oleh kemauan dan keberanian beliau dalam bersikap. Apalagi saat ini kebijakan menaikkan harga BBM tidak lagi harus meminta persetujuan DPR seperti sebelumnya. Hal ini sudah diatur bahkan sejak APBN 2014 bahwa Presiden tidak perlu lagi mendapatkan izin dari DPR untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Maka, Presiden berhak secara prerogatif mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM tanpa perlu direcoki DPR.
Jika pada 2013 lalu partai yang mengusung Pak Jokowi, PDIP, menolak kenaikan harga BBM, bahkan melakukan walk out pada saat pemungutan suara dalam mengambil keputusan di DPR, kini mereka dihadapkan pada kondisi yang berbeda. Setelah 20 Oktober 2014, PDIP adalah partai pemerintah, dimana kader yang didukungnya sebagai Presiden telah mendapat kuasa penuh dalam memutuskan untuk menaikkan harga BBM atau tidak. Dan kondisinya kini adalah harga BBM sudah sangat harus dinaikkan, akan tetapi kebijakan menaikkan harga BBM akan bertentangan dengan sikap mereka setahun yang lalu, dan ingatan rakyat masih terlalu panjang untuk melupakannya. Kebijakan menaikkan harga BBM tak pelak akan membuat pemerintahan Jokowi ditentang oleh rakyat
Jadi, apakah Pak Jokowi akan berani?
Sumber :
http://bisnis.liputan6.com/read/2098214/jokowi-diimbau-genjot-pajak-ketimbang-cabut-subsidi-bbm
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Advertorial%20APBN%202014_061213.pdf
http://www.tempo.co/read/news/2014/09/01/090603718/BPS-Dampak-Kenaikan-Harga-BBM-Cuma-Setahun
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/09/140929_apbn2015
http://ekbis.sindonews.com/read/906168/34/kenaikan-harga-bbm-tak-perlu-lapor-dpr
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H