Mohon tunggu...
BEM FEUI 2011
BEM FEUI 2011 Mohon Tunggu... -

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Apa yang Kita Sebut Pergerakan

10 April 2011   04:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:57 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tentang apa yang kita sebut pergerakan
Dimas Budisatyo Yudho Prakoso

Kastrat BEM FEUI 2011

Tersadarkanlah saya, bahwa setiap langkah pemikiran adalah senjata utama manusia dalam hidup. Asumsi ini berlaku universal, karena pemikiran pada dasarnya berfungsi sebagai alat utama untuk menyelesaikan permasalahan pemenuhan kebutuhan dan dinamika kehidupan yang dialami manusia.

Bicara lebih jauh mengenai pemikiran, secara historis pemikiran manusia berkembang menjadi semakin kompleks, hal ini manusiawi karena semakin hari manusia dihadapkan pada tingkat kompleksitas masalah yang naik. Hingga pada akhirnya pemikiran yang kita sebut nalar ini, menjadi sesuatu yang disebut Hegel sebagai "anti nalar". Selanjutnya kita akan lebih jauh berdiskursus dengan dialektika pemikiran Hegel.(Woods, 2006 : 9)

Anti nalar sebetulnya adalah konsepsi Hegel mengenai kecenderungan pemikiran fanatik yang kaku terhadap logika rasional, sebagai akibat dari proses pembusukan dan miskonsepsi kapitalisme. Kita memahami bahwa sejauh ini jargon kuasa materi dalam dunia kapitalis merupakan fakta tak terbantahkan, namun kenyataannya demikian apabila ada sekelompok individu yang memaksakan pikirannya dengan melawan segala konsekuensi materialis-kapitalis dengan membentuk rasionalisasi baru, inilah yang disebut Hegel miskonsepsi kapitalisme. Miskonsepsi ini timbul menjadi wabah fanatisme terhadap agama-agama samawi, yang secara organik diolah masyarakat(Indonesia khususnya) menjadi tahayul dan aliran kepercayaan. Fanatisme seperti inilah yang disebut "Anti Nalar" yang sifatnya sendiri bertolak belakang dari fungsi nalar yang sebenarnya.

Sama halnya dengan Hegel, Marx juga berpendapat bahwa sebetulnya "agama resmi" yang kita cari sebagai sarana pendamai jiwa dan pengakuan penghambaan atas tuhan kini telah mati (Woods, 2006 : 21). Pendapat ini sangat relevan saat ini karena pada dasarnya tuhan saat ini bukanlah pemilik kuasa yang paling ditakuti oleh manusia, tuhan manusia adalah dunia, dan tuhan yang sering mereka ucap dalam mantera dan doa adalah persembunyian sementara mereka dalam kenyataan yang begitu hampa.

Dalam konteks pergerakan mahasiswa, dialektika pemikiran seperti ini sangat diperlukan untuk mengetahui ontologi dari idealisme konyol para penggerak mahasiswa yang lalu lalang di telinga kita. Bagai gaung yang hilang gemanya, idealisme itu pun menyuarakan hal yang sama. Mahasiswa ditinjau dari hakikat kemanusiaannya adalah individu yang jauh bersentuhan dengan kenyataan materialistik, sehingga pola pemikiran mahasiswa biasanya sering berujung pada konsepsi, abstrak dan nilai-nilai ideal. Hal ini wajar, karena mahasiswa jauh dengan materi. Dampak nyata dari logika berpikir seperti inilah yang menjadikan mahasiswa semakin tendensius menyuarakan(atau dalam bahasa lain kita sebut melakukan "pergerakan") melawan konseptuasi materialisme. Sehingga lama2 pola pikir ini menjadi anti nalar, sesuai dengan sifat fanatiknya yang alamiah.

Anti nalar inilah yang kini menjamur di kampus. Anti nalar ini segera mencari media penularannya lewat jejaring keagamaan dan politik dalam kampus, hingga pada akhirnya timbul legitimasi bahwa mereka yang mengenakan simbol keagamaan tertentu pada dirinya adalah mereka yang memiliki kesalehan paling tinggi. Sangat konyol bagi saya, apabila menyadari bahwa infiltrasi "anti nalar" begitu kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya para mahasiswa. Hingga pada titik tertentu, saya mampu meyakini bahwa sebetulnya penalaran masyarakat belum kuat dan terbudaya, dan dalam saat yang sama nalar para pemuda masih LABIL dan mudah terpengaruh proses fanatisme terhadap tahayul yang dikembangkan dari proses miskonsepsi kapitalisme.

Sebagai konsekuensi dari anti nalar yang merasuk dalam ubun2 sebagian saudara kita ini, kita mampu melihat realita bahwa mahasiswa sangat sering meneriakkan teriakan yang semu. Berdemonstrasi menuntut hal-hal yang terkadang tidak penting dan tidak rasional, alih-alih menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Seharusnya saat ini hal tersebut tidak lagi dilakukan. Mengingat mahasiswa adalah insan yang tercerahkan pikirannya dan bebas nuraninya dari kepentingan dan fanatisme terhadap apapun.

Sejarah bangsa kita memang mencatat, bahwa sebetulnya perubahan negara kita selalu diawali oleh inisiatif kaum intelektual. Namun, seharusnya hal ini tidak dijadikan anggapan bahwa perubahan bangsa harus selalu diawali oleh gerakan kaum intelektual. Karena mulai saat ini yang memiliki tanggung jawab atas nalar dan perubahan bangsa adalah seluruh masyarakat. Tanggung jawab atas nalar ini harus digunakan serasional mungkin tanpa adanya konflik atas kepentingan dan kehendak sehingga output yang dihasilkan bebas dari produk "anti nalar". Media penyaluran pemikiran juga sudah bervariasi. Setiap insan dibebaskan menyuarakan idenya lewat media kreatif yang menimbulkan dampak positif daripada sekedar men"demonstrasi"kan "kepalsuan".

Bagi saya konsepsi yang paling ideal saat ini bukanlah gerakan mahasiswa. Sudah saatnya pergerakan mahasiswa "obsolete" dan digantikan oleh "gerakan masyarakat". Dimana masyarakat secara kolektif menggunakan nalar mereka secara baik demi pembangunan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun