Oleh Jayu Pramudya*
MV Sinar Kudus, sebuah nama yang dalam sebulan terakhir ini menjadi ‘ikon’ Indonesia di dunia internasional, secara ironis justru tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia sendiri karena kalah tenar dengan berita seorang bintara yang, konon, mempertunjukkan sisi humanis dari aparat penegak hukum yang gahar pada umumnya. Kapal dagang yang terdaftar sebagai aset PT. Samudera Indonesia ini menambah daftar panjang kapal – kapal yang dibajak oleh komunitas bajak laut Somalia. Rabu, 16 Maret 2011 lalu, kapal kargo bernomor registerasi IMO 9172507 dan MMSI 525009027 ini dilaporkan hilang kontak di dengan sentra koordinasi perusahaan. Kapal bertipe demikian pada umumnya akan dimanfaatkan komunitas pembajak sebagai mothership bersama 20 kapal sejenis yang diperkirakan saat ini dioperasikan sebagai mothership. Berdasarkan laporan yang dirilis European Union Naval Force for Somalia (EU Navfor), kapal diperkirakan dibajak pada koordinat 0730Z, sekitar 320 mil laut sebelah Timur Laut Pulau Socotra di kawasan Somalia Basin. Keberadaan 20 orang anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Indonesia yang diperkirakan berada dalam kondisi memprihatinkan mendorong keluarga korban untuk menuntut pemerintah Indonesia melakukan tindakan represif terhadap para pemberontak. Tidak kurang, legislator komisi I DPR RI, Ahmad Muzani, pun meminta pemerintah mengambil langkah serupa dengan apa yang ditempuh pemerintah Korea Selatan (Korsel) pada awal 2011 lalu dengan mengirimkan gugus tugas beranggotakan pasukan komando militer yang didukung kapal perusak untuk membebaskan kapal yang ditawan.
Adalah benar adanya bahwa konstitusi mengamanatkan fungsi ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” sebagai satu dari empat tujuan negara yang hendak dicapai. Jika semata – mata merujuk kepada ketentuan tersebut, tentu saja kebijakan ‘melakukan apa saja yang diperlukan’ merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak dalam menghadapi perkara ini. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa penyelesaian masalah yang diputuskan hendaknya melihat insiden ini dari sudut pandang yang lebih luas dan arah yang lebih jauh ke depan dalam konteks perdamaian internasional, sesuai dengan amanat poin keempat dari tujuan negara, “ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Oleh karena itu, dalam menentukan kebijakan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan ini, ada dua catatan yang hendaknya diperhatikan oleh pemerintah Indonesia.
Pertama, tindakan militer secara represif untuk melindungi keselamatan WNI dapat ditempuh jika dan hanya jika tindakan tersebut dilaksanakan atas dasar usaha perlindungan hak hidup atas setiap individu dan usaha penegakan supremasi hukum internasional, bukannya atas dasar langkah politik yang oportunis atau langkah perlindungan aset entitas bisnis tertentu semata (dalam hal ini kapal beserta sekian ribu metriks ton biji nikel di dalamnya). Menilik apa yang ditempuh pemerintah Korea Selatan dalam usaha pembebasan MV Samho Jewelry pertengahan Januari lalu, beberapa kalangan menilai bahwasanya langkah tersebut lebih dominan didasari oleh niat pengukuhan kapabilitas dan responsivitas angkatan bersenjata Korea Selatan sekaligus penguatan kredibilitas politik pemerintah berkuasa paska nihilnya respon nyata pemerintah Korea Selatan terhadap aksi provokatif militer Korea Utara yang meluncurkan bombardemen artileri terhadap Pulau Yeonpyeong pada bulan November tahun 2010. Akan berbahaya jika sindrom yang demikian menjangkiti pemerintah Indonesia, katakanlah semata – mata karena pemerintah Indonesia tidak ingin dikatakan kalah responsif dibandingakan Negeri Jiran yang berhasil membebaskan 23 awak kapal MV Bunga Laurel dan menawan 7 pembajak di Teluk Aden hanya selang beberapa jam setelah aksi militer Korea Selatan, mengingat motivasi yang demikian akan mendesakralisasi cita – cita perdamaian universal yang menjadi hakikat politik luar negeri Indonesia. Bahkan, jika satu demi satu negara di dunia berpemikiran demikian dan membangun ‘perdamaian’ di atas egoisme nasional, hampir dapat dipastikan bahwasanya prinsip egalite dan fraternite ala Revolusi Perancis yang mengilhami universalitas pergaulan internasional agaknya akan menjadi angin lalu belaka.
Catatan kedua, usaha penanganan insiden ini hendaknya diletakkan pada kerangka upaya pemberantasan pembajakan di perariran sekitar Somalia secara berkesinambungan dan bukan semata diletakkan pada kerangka penegakan kedaulatan negara Indonesia terhadap kejahatan internasional. Hal ini menjadi penting mengingat penyelesaian masalah yang mengarah ke pokok dan akar permasalahan akan menjadi satu – satunya jawaban untuk mencegah terulangnya insiden serupa di masa yang akan datang. Oleh karena itulah, perlu dimengerti secara mendalam pula apa yang menjadi asal mula pembajakan di perairan sekitar Somalia. Merujuk pada tulisan Mohamed Abshir Waldo, seorang konsultan dan analis di Mombasa Kenya yang lahir di Somalia, yang dimuat di portal Democracy Now, pembajakan di pesisir Timur Afrika bermula sebagai tanggapan atas maraknya penangkapan ikan ilegal di kawasan tersebut oleh negara – negara Eropa, Selatan, Barat, hingga Utara. Mohamed menyebutkan secara berani bahwasanya negara – negara yang hari ini berpartisipasi secara aktif di dalam EU Navfor, seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Yunani, dan Norwegia, sendirilah yang seharusnya bertanggung jawab atas permasalahan ini. Penangkapan ikan ilegal menggunakan sarana perkapalan yang modern di perairan internasional, dan terkadang di laut teritorial Somalia, menjadikan nelayan tradisional Somalia terdesak dan kalah bersaing. Ketiadaan pemerintah berdaulat Somalia yang secara efektif dapat melakukan penegakan hukum menjadikan mereka para nelayan mempersenjatai dan menobatkan diri sendiri sebagai penjaga pantai dan teritori laut. Mereka inilah yang menurut Mohamed kemudian disebut sebagai komunitas pembajak. Pendapat tersebut agaknya tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah. Hal ini mengingat adanya fakta bahwa pembajak telah menjadikan pula kapal kargo dan niaga sebagai sasaran serta perairan internasional sebagai medan operasi, sebuah hal yang terlalu berlebihan jika murni didasarkan untuk melindungi sumber penghidupan nelayan tradisional Somalia.
Menanggapi kontradiksi tersebut, kemudian dapat disimpulkan bahwa pendapat Mohamed tersebut hanya menggambarkan situasi pembajak Somalia masa lalu. Adapun hari ini, mereka telah berevolusi dan bertransformasi menjadi pembajak yang bukan bertujuan melindungi diri saja akan tetapi juga memperkaya diri dengan berbagai cara. Satu hal yang perlu disyukuri adalah bahwasanya komunitas pembajak ini belum sepenuhnya beroperasi sebagai organisasi kriminal internasional yang melihat kriminalitas sebagai sebuah kewajiban dan tuntutan psikologis, dan bukan hanya tuntutan ekonomi semata. Sekalipun demikian, trend yang demikian tetap harus diwaspadai mengingat perguliran ke arah tersebut masih tetap berjalan salah satunya ditandai oleh menurunnya frekuensi pembajakan namun diimbangi dengan pengingkatan kualitas strategi pembajakan.
Bertolak dari analisis latar belakang pembajakan di atas, idealnya hari ini pemerintah Indonesia dapat mengusulkan sebuah kerangka kerja sekaligus grand strategy jangka panjang untuk penyelesaian permasalahan pembajakan ini. Strategi besar tersebut di antaranya paling tidak harus memuat empat poin utama. Poin pertama, mengakselerasi pembentukan pemerintahan Somalia yang berdaulat dengan berpijak pada dasar pemerintahan yang telah disusun oleh Transitional Federal Government (TFG). Persyaratan mutlak yang harus diwujudkan supaya TFG dapat menjalankan fungsi – fungsi kenegaraan secara baik adalah integrasi and agregasi kepentingan bangsa Somalia. Sebagaimana diketahui bahwasanya sebagian masyarakat Somalia masih meletakkan kesetiaan tertinggi terhadap seorang figur tertentu yang menjadi semacam Warlord dengan kelompok milisi masing – masing. Disintegrasi dan perbedaan kepentingan yang mencolok tersebutlah yang kemudian menyeret Somalia ke jurang konflik horizontal berkepanjangan semenjak kejatuhan autokrat Siad Barre pada tahun 1991. Pemerintah berdaulat dengan organ – organ hukumnya tersebutlah yang kemudian diharapkan dapat menciptakan keteraturan hukum sekaligus ’mengambil alih’ proses penegakan supremasi yang selama ini dijalankan sendiri oleh rakyat Somalia.
Poin kedua adalah, pemberantasan elemen pembajak yang mengusung dasar kriminalitas murni melalui tindakan militer multinasional dengan militer berdaulat Somalia sebagai tulang punggung utama. Kemandirian Somalia di masa depan harus mulai dibangun sedini mungkin dengan memberikan mereka dukungan untuk menegakkan hukum sendiri tanpa menggantungkan kepada upaya negara lain. Memang benar bahwa secara teknis dalam jangka pendek, penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa – Bangsa PBB atau Uni Afrika akan berperan lebih banyak, akan tetapi jika mandat politik tertinggi tetap diletakkan di bahu pemerintah Somalia, itu akan menjadi sebuah pembuktian tersendiri kepada rakyat Somalia akan kredibilitas dan kemandiriaannya sehingga proses integrasi dapat dipercepat.
Poin ketiga adalah percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi kawasan. Sebagaimana diketahui bahwasanya saat ini Somalia masih terus berjuang untuk keluar dari kolam kemiskinan dan mewujudkan kehidupan yang layak bagi setiap warganya. Kecukupan ekonomi dan pencapaian standar hidup layak menjadi hal penting mengingat sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa masyarakat miskin akan cenderung lebih mudah tergelincir ke dalam kriminalitas. Untuk jangka pendek, pemberian bantuan oleh PBB melalui organ – organnya seperti World Food Program (WFP) dan Office for Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) tidak dapat begitu saja dihilangkan. Oleh karena itu menjadi penting bagi PBB untuk dapat mendesain pemberian bantuan yang membangun, seperti memberikan bantuan barang – barang modal dan tidak sebatas barang – barang konsumsi. Ke depannya semua bentuk organisasi dan komisi internasional yang sejauh ini menjalankan tugas pemerintah Somalia, diharapkan akan dapat ditarik seluruhnya, termasuk EU Navfor dan African Union Mission for Somalia (Unisom). Uni Afrika dan PBB kemudian diharapkan akan lebih banyak berperan dalam memberikan bantuan immaterial berupa pengawalan dan dukungan dalam memastikan sinkronisasi dan harmonisasi ekonomi Somalia dengan negara Afrika Timur pada umumnya maupun negara – negara di sepanjang Teluk Aden, Laut Merah, Laut Arab, dan Samudera Hindia untuk mewujudkan pemerataan ekonomi yang meminimalisasi tingkat kejahatan.
Poin keempat adalah perumusan kembali hukum laut internasional yang lebih tegas dalam mengatur siapa dapat berbuat apa, terutama di kawasan perairan internasional. Konvensi Laut Internasional yang ditetapkan di Montevideo, Uruguay pada tahun 1982 agaknya perlu mempertimbangkan ulang bagaimana law enforcement di kawasan perairan dengan situasi khusus, seperti Somalia pada hari ini, dapat dilaksanakan sehingga tidak terjadi vaccuum of law yang memicu munculnya tindakan penegakan supremasi oleh masyarakat yang kemudian terdistorsi menjadi kriminalitas sebagaimana pembajakan Somalia hari ini.
Pemerintah Indonesia, sekali lagi memiliki momentum yang baik untuk mengusulkan strategi penyelesaian masalah yang dan holistik dan komprehensif. Yang menjadi permasalahan sekarang tinggal bagaimana menjawab pertanyaan atas posisi sepeti apa yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia dalam hal ini, apakah sebagai negara yang semata – mata mengusung egoisme dan pragmatisme pembelaan kawasan eksteritorial yang dimilikinya sebagaimana telah diterapkan selama ini atau bermetamorfosa menjadi bangsa bermartabat yang mengusung apa yang diyakininya ke dalam dimensi realisasi yang universal. Indonesia pernah menjadi bangsa yang besar, dan di masa depan kita kembali akan mampu menjadi besar. Masa depan itu dimulai sejak hari ini. Change, for better Indonesia!!!
--------------------------------------------------
Sumber Referensi
- http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/03/110318_somaliapirate.shtml
- http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-12442330
- http://www.csmonitor.com/World/Africa/2011/0301/Madagascar-captures-Somali-pirate-mother-ship.-Now-what
- http://www.democracynow.org/2009/4/14/analysis_somalia_piracy_began_in_response
- http://www.eunavfor.eu/2011/03/mv-sinar-kudus-is-pirated-in-the-north-arabian-sea-and-is-almost-immediately-used-as-a-mothership/
- http://www.guardian.co.uk/world/2011/jan/21/south-korea-rescue-somali-pirates
- http://www.nytimes.com/2009/12/30/world/africa/30piracy.html?_r=1
- http://www.ochaonline.un.org/Default.aspx?alias=ochaonline.un.org/somalia
- http://www.shipping.nato.int/CounterPir/copy_of_copy_of_SOMALIAPIR
- http://www.state.gov/t/pm/ppa/piracy/index.htm
- http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2044062,00.html
- http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=37457&Cr=somalia&Cr1
- http://www.unclef.com/apps/news/story.asp?NewsID=37141&Cr=somali&Cr1=
- http://www.vesseltracker.com/en/Ships/Sinar-Kudus-9172507.html
- http://www.voanews.com/english/news/a-13-2009-04-08-voa67-68785907.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H