Era industry 5.0 yang dimana fokus kita adalah bagaimana cara agar teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan peran manusia, serta mengoptimalkan kemampuan mereka dalam lingkungan industri. Sekarang, manusia sedang berlomba-lomba untuk berkembang dalam berbagai bidang terutama di bidang kebudayaan.
Kebudayaan merupakan sebuah hal yang sangat penting bagi identitas suatu bangsa. Tentunya, kekhawatiran akan kebudayaan yang tertinggal merupakan probelmatika bangsa Indonesia sedari dulu. Mengingat Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnis dan bahasa daerah yang harus diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya untuk dilestarikan.
Melihat pentingnya peran anak bangsa Indonesia dalam mengatasi berbagai kekhawatiran dalam bidang kebudayaan, sebagai salah satu upaya pemajuan kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM) sejak Tahun 2019. Hal ini menjadi langkah awal sebagai pendekatan baru kemajuan kebudayaan.
KBKM adalah sebuah platform kerja budaya bagi anak-anak muda (18 -- 25 tahun) yang tertarik dan merasa tertantang dalam menciptakan aplikasi dan prakarya yang dapat menjawab berbagai masalah dalam pemajuan kebudayaan melalui pendekatan STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, Mathematics).
KBKM sendiri sudah berlangsung selama beberapa tahun di berbagai daerah. Tahun ini KBKM dilaksanakan di lepas pantai barat daya sebuah pulau yang tidak lama lagi akan menjadi ibu kota baru, yaitu pulau Kalimantan, tepatnya Provinsi Bangka Belitung. Beberapa tahun terakhir sistem penyeleksiannya dimulai dari tingkat kota dan provinsi. Namun, pada tahun ini skema seleksi diubah, langsung diserahkan ke pusat bahkan jika beberapa tahun terakhir teman sekelompok dapat dipilih dari awal, tahun ini pun ditentukan oleh pusat.
Universitas Diponegoro sendiri mengusung dua delegasi dimana salah satunya bergabung di MSIB. Sabina, Mahasiswi UNDIP Fakultas Sains dan Matematika melewati jalur umum yang tidak tergabung dalam konversi kampus merdeka. Kbkm tahun ini sendiri telah mencapai 3600 pendaftar, namun hanya ada 50 peserta untuk aplikasi yang lulus dan juga 50 orang purwarupa. Tempat residensi yang dijadikan lokasi riset untuk KBKM pun telah dipilih oleh pihak kementerian sehingga para peserta menjalankan riset dan penciptaan inovasi aplikasi sesuai dengan urgensi tempat riset yang ditentukan.
Sabina bersama tim mahasiswa lain mengembangkan sebuah aplikasi alih Bahasa dan memilih Bahasa sawang sebagai tokoh utamanya, tidak hanya bergelut di bidang Bahasa, mereka juga membuat buku berbasis ISBN (International Standard Book Number) Â mengenai suku sawang yang hampir hilang akibat mobilitas yang tinggi. Buku ini menyesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar yang belum terbuka teknologi sehingga bisa lebih applicable. Topik ini tentu diangkat oleh Sabina dan tim karena ketidakmampuan suatu kelompok masyarakat dalam menggunakan teknologi.Â
Hal ini tentu dapat menjadi sebuah masalah serius dalam berbagai aspek kehidupan. Mereka akan mengalami ketertinggalan ekonomi, pendidikan, informasi, dan ketidaksetaraan sosial. Selain itu, mereka juga menghasilkan sebuah dokumenter yang menceritakan mengenai suku didaerah riset mereka sehingga masyarakat luar lebih mengenalnya dan mendapatkan recognition dari pihak luar.