Rakyat Indonesia baru-baru ini dihebohkan dengan kenaikan harga BBM yang dianggap cukup merugikan rakyat. Terlebih, kenaikan harga BBM ini juga berpengaruh pada kenaikan komoditi pangan dan berbagai barang lain. Namun, sayangnya kisah pilu rakyat Indonesia tidak cukup sampai disitu saja. Terutama di bulan September yang penuh dengan kenangan duka kasus-kasus pelanggaran HAM. Oleh karena itu, banyak orang yang memeringati bulan September ini sebagai "September Hitam" karena kelamnya duka di bulan ini. Mulai dari kasus Munir, Marsinah, G30S/PKI sampai Reformasi Dikorupsi terjadi di bulan September ini. Kasus-kasus tersebut adalah potret kecil dari banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang sampai sekarang belum terselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, momen September Hitam ini ada untuk menjadi sarana refleksi diri bagi pemerintah dan masyarakat luas. Untuk bisa merenungi kasus-kasus kemanusiaan dan bisa berjuang menegakkan keadilan. Bahkan, hingga sekarang Aksi Kamisan masih terus berlanjut untuk bisa memerjuangkan hak-hak korban dan secara lebih luas untuk memerjuangkan tegaknya HAM di Indonesia. Namun, pergerakan Aksi Kamisan yang berlangsung tiap Kamis sore ini tidak hanya menyuarakan tentang HAM saja tetapi juga menyuarakan tentang banyak hal yang dirasa menyengsarakan rakyat. Contohnya tentang RKUHP, kenaikan harga BBM, kasus kekerasan dan masih banyak lagi.
Selain adanya beberapa aksi dalam moment September Hitam tahun ini, penutupan kasus Munir dan kontroversi Bjorka juga mendapat sorotan tajam dari publik. Kasus Munir yang telah berlalu 18 tahun akhirnya ditutup pada tahun 2022 karena telah melampaui masa penutupan pidana. Namun, beberapa hari setelah penutupan kasus tersebut sosial media dihebohlan oleh kemunculan Bjorka, hacker yang membocorkan banyak informasi penting terkait kasus Munir. Meskipun telah membeberkan berbagai informasi terkait kasus Munir, cuitan Bjorka di sosial media rupanya hanya dianggap angin lalu oleh pemerintah. Hal ini terpotret dari pernyataan Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik, yang menyatakan bahwa pihaknya bergerak berdasarkan fakta bukan dari cuitan sosial media belaka. Padahal, menurut beberapa pihak, kemunculan Bjorka ini bisa saja menjadi titik terang awal untuk kasus Munir.
Seperti yang disampaikan oleh Muhammad Chiko, Ketua Aksi dan Jaringan Bidang Sosial Politik BEM Undip pada wawancara Senin (19/6) "Masih ada kemungkinan kasus ini bisa diselesaikan asalkan negara ini memang serius untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini terutama kasus Munir. Apalagi jika dilihat dari sudut pandang Bjorka, siapa tau bisa memberikan titik terang awal." Chiko sebagai bagian dari masyarakat khususnya pemuda juga menilai bahwa penyelesaian kasus-kasus HAM di Indonesia hanyalah janji-janji elit politik belaka tetapi sampai sekarang tidak ada kejelasan dan tidak ada penyelesaian yang serius.Â
Oleh karena itu, Chiko secara pribadi juga tidak setuju dengan usulan #gantipresiden karena menurutnya, keseriusan dalam menangani kasus ini harus dilakukan bersama seluruh elemen yang terkait tidak hanya presidennya saja. Oleh sebab itu, pergantian presiden tanpa keinginan serius dari seluruh elemen untuk menyelesaikan kasus HAM tentu akan sangat sia-sia. Kondisi ini tentu menjadi sebuah ironi di tengah-tengah Indonesia. Terlebih, di tahun 2022 saat banyak elit politik yang berbondong-bondong menampilkan citra peduli pada rakyat tetapi tutup mata pada banyaknya kasus HAM yang belum terselesaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H