Tidak dipungkiri, politik monumen adalah salah satu sumber kekuatan Taufan Gama untuk meraih simpati publik sebagai modal penting dalam Pilkada Asahan, Sumatera Utara Tahun 2015 mendatang ( tentang politik monumen dapat dibaca di http://m.kompasiana.com/post/read/675050/2/politik-monumen-serial-rahasia-kekuatan-politik-taufan-gama.html ). Saking kuatnya, bahkan politik monumen mampu mmenghipnotis pandangan korbannya sehingga ia akan fokus pada satu bangunan "monumen" keberhasilan yang sengaja diciptakan untuk menutupi berbagai kegagalan pembangunan lainnya.
Melihat realitas sosial politik yang ada saat ini, rasanya para kompetitor Taufan Gama, termasuk Syatriawan Guntur Zass yang diyakini memiliki dukungan kuat di akar rumput-pun, tampaknya tidak mudah menghadapi kekuatan politik monumen Taufan Gama ini. Sebab, politik monumen memerlukan modal yang besar, dan posisi Taufan Gama sebagai incumbent diuntungkan karena ia dapat menggunakan dana APBN/APBD untuk menjalankan politik monumen tersebut.
Salah satu metode menghadapi politik monumen yang menurut hemat kami dapat digunakan, khususnya oleh para kompetitor Taufan Gama, adalah dengan menggunakan instrumen "audit sosial". Diperkirakan audit sosial dapat menjadi formula yang relatif cukup ampuh menetralisir kekuatan politik monumen yang selama ini digunakan Taufan Gama.
Secara sederhana audit sosial itu adalah sebuah metode evaluasi yang dilakukan oleh masyarakat secara kolektif dan partisipatory (bukan oleh lembaga audit formal) untuk menjawab pertanyaan “apakah kebijakan/program yang dijalankan oleh pemanglu kebijakan, misalnya Bupati, bekerja sebagaimana mestinya?
Dengan demikian, audit sosial itu adalah sebuah proses penilaian, penyikapan dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan atau penyelenggaraan pemerintahan yang prosesnya dilakukan serta melibatkan partisipasi masyarakat secara sistematis dan berkesinambungan.
Audit sosial yang dilakukan secara efektif akan menjadi instrumen penting bagi masyarakat dalam mengukur keberhasilan ataupun kegagalan kebijakan/program pembangunan pemerintah, termasuk didalamnya keberhasilan atau kegagalan pemimpinnya. Sehingga dengan demikian masyarakat tidak lagi bisa digiring untuk hanya melihat satu program tertentu saja yang dianggap (baca:dimanipulasi) sebagai keberhasilan pembangunan.
Dalam penjelasan yang lebih ilustratif dapat digambarkan; jika politik monumen adalah kabut yang membuat mata kotor berdebu sehingga tidak mmampu melihat dengan jelas kegagalan pembangunan, maka audit sosial ibarat obat tetes mata yang akan enjernihkan pandangan kita sehingga tidak terkecoh oleh fatamorgana keberhasilan pembangunan yang dimanipulasi penguasa melalui strategi politik monumen.
Dengan keterbatasan ruang dan waktu untuk membacanya, tulisan ini tidak akan mengurai lebih detil dan teknis tentang bagaimana melaksanakan audit sosial. Pranata yang diperlukan untuk melakukan audit sosial dapat dibaca dan pelajari dari berbgai literatur yang tersebar, termasuk diinternet. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa audit sosial hanya bisa dilakukan oleh sebuah komunitas masyarakat yang kritis.
Jika kita melihat kembali tulisan sebelumnya, maka ini sangat sejalan dengan gagasan pembentukan media massa berbasis komunitas yang beberapa waktu lalu sudah ditawarkan. (baca link ini: http://m.kompasiana.com/post/read/672249/2/media-komunitas-senjata-ampuh-melawan-politik-santunan-serial-rahasia-kekuatan-politik-taufan-gama.html )
Salah satu contoh proses audit sosial yang dilakukan oleh komunitas masyarakat kritis dapat dibaca dalam link berikut http://suarakomunitas.net/baca/70198/mengenali-audit-sosial/. Dalam tulisan tersebut dijelaskan prasyarat penting sekaligus tantangan yang harus dihadapi untuk bisa melakukan audit sosial, (khususnya di Asahan) yaitu keterbukaan informasi publik. Agar masyarakat dapat melakukan audit sosial maka akses terhadap informasi dan dokumen sangat diperlukan. Padahal, meskipun sudah ada UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), tampaknya masih tidak mudah mengakses berbagai informasi publik dalam pemerintahan Taufan Gama. Alih-alih membuka informasi, Taufan Gama bahkan mengeuarkan aturan yang membatasi arus keluar informasi ittu sendiri.