Mohon tunggu...
Bem Simpaka
Bem Simpaka Mohon Tunggu... -

baru belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Membaca Motif Di Balik Kritik [Kontroversi Pembuatan “Annemie in Buiten Gewesten”]

19 Mei 2015   16:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14320261431369318144

Dalam tulisan sebelumnya, saya mengulas bahwa pembuatan film “Annemie in Buiten Gewesten” ini disutradarai oleh bukan sutradara biasa, dan prosesnya, terutama dalam hal pendanaan dan pencarian calon pemeran (casting) juga bukan proses yang biasa karena proses pembuatan film ini lebih tampak sebagai gerakan sosial daripada pembuatan film. Itu begitu bisa dirasakan dengan mengamati proses mobilisasi sukarelawan sampai upaya-upaya membangun komunikasi dengan tokoh masyarakat dan agama sebagai bagian dari sosialisasi dan konsolodasi yang lebih strategis.

Bagi saya pembuatan film ini adalah bagian dari gerakan sosial untuk mempromosikan perdamaian dan kedamaian salah satunya untuk mencegah konflik sosial politik menjelang pilkada. Dengan demikian, melalui gerkan ini, proses pembuatan film “Annemie in Buiten Gewesten” seharusnya akan memainkan peranan sangat penting untuk meredam potensi keterceraiberaian (baca:konflik) sesama anak bangsa, khususnya selama proses pilkada. Namun, yang unik dan menggelitik fikiran saya, jika tujuannya mulia, kenapa proses pembuatan filim ini tidak lepas dari kritik tajam pihak tertentu dan bahkan menjurus pada penolakan?

Beberapa minggu ini saya secara intensif mengikuti dan memantau lalu lintas diskusi kritis yang berkembang di media sosial seputar pembuatan fim ini. Pengamatan saya, materi kritik terfokus pada soal kejelasan tematik (kampaye) budaya yang diusung dan dipromosikan, soal metode dan area pencarian calon pemeran yang meluas tidak hanya di Kabupaten Asahan padahal ini film bercerita tentang budaya Asahan, dan soal momentum waktu yang mendekati pilkada.

Tulisan ini tidak akan mengulas materi kritik, tetapi soal kualifikasi pihak-pihak pengkritik dan prakira tujuannya.

Harus diakui, proses pembauatn film “Annemie in Buiten Gewesten” ini memperoleh perhatian sangat serius dari sosialita di Asahan. Antara lain, sebutlah misalkan Raden Suhartono, seorang tokoh seni dan budaya di Asahan. Ada juga Tri Purno Wododo, lawyer dan aktivis sosial berpengaruh, dan tidak ketinggalan dengan Denny, tokoh Ormas Kepemudaan yang memiliki banyak pengikut.

Saya sendiri juga termasuk dalam barisan yang ikut memberikan catatan kritis, terutama soal relevansi judul dan pilihan thema budaya dikaitkan dengan realitas kebudayaan yang ingin dibangkitkan kembali, budaya mana dan seperti apa yang ingin dijadikan setting cerita, barangkali perlu diperjelas? Selain itu, yang tidak kalah menarik, juga menunggu jawaban dan pejelasan dari Eddie Karsito mengenai momentum pembuatan film yang mendekati pilkada?

Semua kritik tersebut seharusnya tetap disikapi secara positif dan akomodatif oleh para pembuat film ini, sebab memajukan Asahan dengan pendekatan budaya, adalah ide yang cemerlang dan tujuannya mulia. Meskipun ini menyisakan pertanyaan bagi kita, jika tujuan pembuatan film ini mulia, mengapa masih ada pihak-pihak yang terus menerus memberikan kritik, bahkan ada yang terkesan ingin menghentikan proses pembuatannya? Untuk “membantu” para pembuat film ini memetakan dan menyikapi kritik dengan tepat, saya coba membuat kualifikasi kritik.

Kelompok kritik pertama adalah mereka yang berharap ada penajaman nilai dan pesan kebudayaan yang seharusnya ditampilkan dalam film ini. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mengkritik karena merasa idealismenya terganggu dengan tagline “kenalkan budaya Asahan pada dunia” dikaitkan dengan pilihan setting budaya dan cerita yang dibangun.

Kelompok kritik kedua adalah mereka yang terpanggil untuk melindungi konsumen. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mengkritik proses pendanaan yang dirasa tidak lazim karena menggunakan sistem “ijon”. Belum lagi pelibatan peserta casting sebagai sukarelawan dan bahkan konon menurut yang pernah melihatnya, mereka juga sekaligus menjadi sukarelawan dalam peroses penjualan tiket. Tidak hanya itu, kelompok ini juga mengembangkan issue kritisnya sampai pada kewajiban pembayaran pajak kepada Negara dari hasil penjualan tiket yang dilakukan.

Kelompok ketiga adalah mereka yang memiliki agenda tersembunyi untuk menggagalkan pembuatan film. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang membaca bahwa film ini justeru akan menjadi sumber konflik horizontal karena setting budaya yang dijadikan basis cerita dianggap bukan kebudayaan asli melainkan kebudayaan “pendatang”, sehingga ini dapat menimbulkan perdebatan primordialisme berujung konflik kesukuan yang sangat rentan terjadi menjelasn dan saat pilkada.

Kelompok keempat adalah mereka yang sengaja mengembangkan kontroversi untuk menaikkan rating popularitas film ini, sehingga secara tidak sadar masyarakat akan semakin penasaran untuk menonton dan dengan demikian akan sesegera mungkin membeli tiketnya.

Dari empat pengelompokan tersebut, menurut hemat saya, bahkan termasuk yang ingin mengagalkan pembuatan film ini, pada dasarnya semua bertujuan positif. Namun akan menjadi negatif manakala penyelenggara dan pembuat film menyikapinya secara keliru.

Kaki Merapi, 19/05/15

Bem Simpaka

sumberIlustrasiPhoto: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10203923768844161&set=o.785289678219875&type=3&theater

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun