Sifat Angin; adalah dapat masuk (menyusup) ke segala tempat. Sifat Angin dalam khasanah filsafat Jawa ini diartikan sebagai suatu bentuk ketelitian dan kehati-hatian. Dan dalam konteks kekinian pemimpin yang menguasi sifat Angin adalah ia yang selalu terukur bicaranya (tidak asal ngomong), setiap perkataannya selalu disertai argumentasi serta dilengkapi data dan fakta. Dengan demikian pemimpin yang menguasai sifat Angin ini akan selalu melakukan check and recheck sebelum berbicara atau mengambil keputusan.
Sifat Api; adalah membakar apa saja, tanpa pandang bulu. Besi sekalipun bisa leleh dengan Api. Dalam khasanah filsafat Jawa, Api dimaknai secara positif sebagai simbol dari sifat yang tegas dan lugas. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang menguasai sifat Api adalah ia yang cekatan dan tuntas dalam menyelesaikan persoalan. Juga selalu konsisten dan objektif dalam menegakkan aturan, tegas tidak pandang bulu dan objektif serta tidak memihak.
Secara ilustratif, pemimpin yang menguasai sifat Api ini digambarkan dalam kisah seorang Raja yang dengan tegas menghukum cungkil satu mata kepada anaknya sendiri, tetapi setelah itu ia menyerahkan satu matanya untuk mengganti mata anaknya yang sudah di cungkil tersebut. Demikianlah, seorang pemimpin yang menguasai sifat Api, ia dapat membedakan antara penegakkan hukum dan kasih sayang terhadap keluarga.
Sifat Air; Berbeda dengan Samudra yang lebih mewakili sifat luas (lapang) hati, Air memiliki sifat yang selalu mencari tempat yang rendah. Begitu pula pemimpin yang menguasai sifat Air, ia akan selalu rendah hati dan tidak sombong apalagi semena-mena kepada rakyatnya.
Meskipun tergolong tua, ilmu Hasta Brata adalah salah satu dari sekian banyak ajaran-ajaran filsafat kepemimpinan Jawa. Generasi selanjutnya juga mengajarkan filsafat kepemimpinan sebagai terjemahan lebih lanjut dari Ilmu Hasta Brata ini, misalkan ilmu Manunggaling Kawula Gusti yang mengajarkan bagaimana filsafat kepemimpinan yang menyatu dengan rakyat tetapi dekat dengan Tuhan. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti ini mencoba mengambil ajaran Hasta Brata menjadi satu intisari ajaran filsafat kepemimpinan.
Selain itu juga terdapat generasi filsafat kepemimpinan Jawa yang tergolong baru, yaitu Trilogi Kepemimpinan-nya Ki Hajar Dewantara; Ing Ngarso Sungtulodo, Ing Madyo Mangunkarso dan Tut Wuri Handayani. Meskipun demikian, (hampir) semua ajaran filsafat kepemimpinan Jawa tersebut bersumber dari Ilmu Hasta Brata. Sebab ajaran Hasta Brata adalah (dapat dikatakan) satu visi kepemimpinan yang relatif paling ideal dalam konsepsi ajaran filsafat kepemimpinan Jawa. Saking idealnya sehingga seakan-akan tidak mungkin ada seorang pemimpin dapat menguasai kedelapan sifat alam tersebut. Oleh karena itulah kemudian para filsuf mencoba menurunkannya menjadi beberapa generasi ajaran filsafat kepemimpinan yang lebih spesifik.
Seperti umumnya filsafat, ajaran Hasta Brata sepatutnya menjadi landasan kebathinan yang memberi motivasi kepada kita, khususnya bagi mereka yang meyakini ajaran filsafat kepemimpinan Jawa dan ingin menjadi pemimpin yang berhasil menegakkan kebenaran untuk memerangi kebathilan. Bukankah Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa; "Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”.
**Bem Simpaka; 05/08/07
sumber photo ilustrasi: https://www.flickr.com/photos/tjahjono/5286940082/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H