Stunting masih menjadi persoalan serius pada anak di Indonesia hingga saat ini. Sering kali masyarakat mengartikan bahwa stunting adalah anak yang memiliki tubuh pendek. Hal tersebut memang benar adanya, tetapi kondisi stunting yang dialami oleh anak juga memiliki arti yang lebih serius.
Pengertian Stunting
Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah postur tubuh pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari --2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO dikarenakan kondisi irreversible akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang/kronis yang terjadi dalam 1000 hari pertama kehidupan. 1000 hari pertama kehidupan sangat penting bagi anak, karena otak anak-anak dapat menciptakan 1000 sambungan saraf baru setiap detik pada fase ini. Koneksi yang dibentuk oleh otak anak-anak pada usia 3 tahun memberikan landasan bagi masa depan mereka, karena otak mereka 2x lebih sibuk dari otak orang dewasa. Â
Status Gizi di Indonesia
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, stunting di Indonesia mencapai 21,6%. Meski sudah lebih baik dibandingkan pada tahun 2019, tetapi angka tersebut masih belum sesuai dengan parameter yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu <20%. Oleh karena itu, Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) menarget penurunan stunting sebesar 3,8% per tahun. Target ini dimulai pada tahun 2022 yang dihimbau bisa mencapai 14% pada tahun 2024. Prevalensi di Indonesia paling banyak menyumbangkan angka stunting berada di Sulawesi Barat dan di daerah Timor (prevalensi 40%). Sedangkan wilayah Jawa dan Sumatera memiliki prevalensi sebesar 20%-30%. Indonesia masih mempunyai proporsi status gizi yang bermasalah rata-rata 29,9%. Ada sekitar 18 provinsi yang memiliki prevalensi 30%-40%. Artinya hampir dari setengah provinsi di Indonesia memiliki persentase prevalensi yang tinggi.Â
Langkah Pemerintah
Pemerintah Indonesia telah melakukan dan mengembangkan berbagai upaya dalam mencegah dan perawatan stunting, namun masih terdapat banyak hambatan yang ditemukan dalam upaya tersebut. WHO menyatakan bahwa pengembangan kemitraan dengan berbagai unsur di masyarakat dan lintas sektor yang terkait dengan stunting di setiap wilayah merupakan kegiatan yang penting dilakukan, untuk itu WHO merekomendasikan bahwa dalam penanganan dalam menurunkan stunting harus dilakukan secara terintegrasi, berbasis masyarakat, dan perlu mengembangakan kemitraan baik lintas program maupun lintas sektor. Untuk mencegah dan menanggulangi masalah gizi diperlukan ahli gizi yang kompeten sehingga mampu melaksanakan pelayanan gizi untuk pencegahan dan penanggulangan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di bidang gizi. Untuk menanggulangi masalah stunting, ahli gizi dapat merancang, mengatur, memperluas, dan mengevaluasi program penyuluhan, pelatihan, dan pendidikan gizi untuk individu, kelompok, serta masyarakat. Ahli gizi juga dapat bekerja sama dengan pihak posyandu untuk melakukan penyuluhan secara langsung bersama para ibu. Ahli gizi dapat memberikan pemaparan beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya stunting pada anak, yaitu memberikan ASI eksklusif pada bayi hingga berusia 6 bulan, memantau perkembangan anak dan membawa ke posyandu secara berkala. mengkonsumsi secara rutin Tablet tambah Darah (TTD), memberikan MPASI yang bergizi dan kaya protein hewani untuk bayi yang berusia diatas 6 bulan. Tentunya masih banyak lagi hal yang dilakukan oleh ahli gizi untuk memperendah angka stunting di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H