Pada zaman dulu, tradisi mulung duit dilakukan dengan cara yang lebih sederhana dan memiliki unsur kebersamaan yang sangat kuat.Â
Setelah acara besar seperti pernikahan, khitanan, atau syukuran selesai, keluarga yang menyelenggarakan acara akan membagikan uang kepada masyarakat sekitar.Â
Pembagian ini dilakukan dengan cara mendatangi setiap rumah di lingkungan tersebut satu per satu. Biasanya, orang-orang yang terlibat dalam pembagian ini adalah anggota keluarga atau tetangga terdekat.
Uang yang dibagikan biasanya tidak dalam jumlah besar, tetapi lebih pada simbol rasa syukur dan berbagi kebahagiaan.
Tradisi ini dianggap sangat sakral karena mencerminkan rasa syukur kepada Tuhan serta kepedulian terhadap sesama.Â
Selain itu, prosesnya yang langsung mendatangi rumah-rumah juga mempererat tali silaturahmi antara keluarga yang mengadakan acara dengan masyarakat sekitar.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, tradisi mulung duit mengalami perubahan dalam pelaksanaannya. Saat ini, praktik mulung duit sering kali dilakukan dalam bentuk saweran.Â
Dalam saweran, uang dibagikan di tempat acara, biasanya dengan cara menaburkan atau melemparkan uang ke arah para tamu atau peserta yang hadir. Tamu-tamu kemudian mengambil uang yang disebar tersebut.
Perbedaan mendasar antara mulung duit dulu dan sekarang terletak pada cara dan tempat pelaksanaannya. Dulu, mulung duit lebih bersifat personal dan dilakukan dari rumah ke rumah, sedangkan sekarang dilakukan di tempat acara dengan cara yang lebih terbuka dan melibatkan banyak orang sekaligus.
Perubahan ini juga mengubah dinamika sosial yang ada. Jika dulu tradisi mulung duit memperkuat silaturahmi dengan cara yang lebih intim, sekarang hubungan tersebut lebih bersifat umum dan tidak lagi melibatkan interaksi dari rumah ke rumah.Â
Di sisi lain, saweran dianggap lebih praktis dan mengurangi beban bagi pihak yang menyelenggarakan acara, meskipun mungkin juga mengurangi nilai tradisional yang dulu sangat dijunjung tinggi.