Dalam dunia politik, praktik-praktik politik uang seringkali muncul sebagai masalah serius yang mengancam integritas pemilihan umum. Di berbagai negara, termasuk di negara kita Indonesia, politik uang merusak proses demokrasi dengan mempengaruhi keputusan pemilih melalui imbalan finansial.
Politik uang didefinisikan sebagai praktik memberikan uang atau barang kepada pemilih sebagai imbalan untuk mendapatkan suara. Hal ini sering terjadi dalam konteks pemilihan umum, dimana calon-calon berusaha menarik dukungan dengan cara tidak etis. Mereka beranggapan bahwa memberikan imbalan langsung kepada pemilih adalah cara paling efektif untuk mendapatkan suara, dengan pembagian uang di pasar, acara komunitas, dan bahkan mendatangi rumah-rumah. Praktik yang seperti ini menjadikan pemilih merasa tertekan untuk memilih berdasarkan keuntungan materi yang dia dapatkan dari calon yang memberikan tadi, bukan visi dan program-program yang ditawarkan oleh calon.
Kasus ini berkaitan dengan Pancasila yang ke-dua "kemanusiaan yang adil dan beradab" juga menyalahi Undang-Undang pasal 84 No.8 Tahun 2012. Ketika calon memiliki suara yang lebih besar karena kekuatan finansial, yaitu uang atau barang yang digunakan untuk menyuap pemilih, Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi terfragmentasi dan menciptakan ketidakadilan. Masyarakat dengan Pendidikan rendah atau yang berada di lapisan ekonomi bawah cenderung lebih mudah menerima uang dalam jumlah kecil, karena bagi mereka uang Rp. 100 ribu hingga 200 ribu sangat berarti. Kurangnya pemahaman mengenai pondasi substansi demokrasi mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia melihat demokrasi itu sekedar sebagai ritual (pemilu, pemungutan suara, voting, kebebaan berpendapat dan sebagainya) sedangkan relevansinya terhadap perbaikan kualitas kebijakan publik cenderung diabaikan. Selain itu melemahnya kepercayaan pemilih terhadap para calon, mereka baranggapan bahwa semua calon hanya mengumbar janji, sehingga selama mereka mendapatkan keuntungan kenapa tidak diambil, maka semua inilah yang menyebabkan politik uang semakin merajalela seolah-olah menjadi hal yang wajar dan bahkan seperti tidak ada yang salah dengan hal itu.
Dari berbagai hasil riset, penerima politik uang ini kebanyakan adalah perempuan, khususnya ibu rumah tangga, juga para remaja yang saat itu baru mendapatkan hak suara. Negara kita Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dalam praktik politik uang setelah Uganda dan benin, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Guru Besar ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi. Data tersebut diambil dari riset yang dilakukan Burahanuddin pada dua pilpres, yakni 2014 dan 2019. Hasilnya sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) terlibat dalam praktek uang. Dan hal ini bukan hanya terjadi dalam pemilu saja, bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik politik uang di masyarakat telah berlangsung dari pemilu ke pemilu. Meski kasus-kasus ini telah marak terjadi, namun sedikit sekali yang dapat tertangani oleh penyelenggara pemilu,. Selain tidak dilaporkan , biasanya sulit pembuktianya karena tidak adanya saksi. sehingga oleh penyelenggara pemilu politik uang ini dikatakan ibarat "kentut" karena bisa dirasakan tetapi tidak bias diketahui keberadaanya.
Hal ini jika dapat kita kaitkan dengan pandangan John Rawls mengenai keadilan. keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada pemikiran, beliau mendasarkan keadilan pada fairness atau dalam Bahasa Rawls disebut pure procedural justice. Gagasan fainess ini menggabungkan dua pandangan, yakni konsep natural law dan konsep government. Menurutnya setiap individu harus memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar. Politik uang melanggar prinsip ini dengan menciptakan ketidaksetaraan dalam pengambilan keputusan politik, dimana hanya mereka yang memiliki kekuatan finansial yang dapat mempengaruhi hasil pemilu.
Dengan demikian politik uang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan menurut John Rawls. Hal ini merusak kesetaraan dalam kebebasan dan memperburuk ketidakadilan, terutama bagi mereka yang paling tidak beruntung. Dalam pandangan Rawls untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil. Penting untuk mengatasi praktik politik uang dan memastikan bahwa semua suara didengar secara setara. Salah satu solusinya yakni melalui pendekatan, seperti pendekatan libertarian bahwa penghargaan tinggi terhadap kebeasan setiap individu dalam menentukan arah hidupnya. Dalam arus pemikiran inilah terletak gagasan yang meyakini betapa berbahayanya jika masyarakat terlalu diatur dan dikendalikan oleh pemerintah. Dengan kata lain pemerintah hanya berfungsi terbatas untuk menjamin kebebasan individu, sebab melalui kebebasan individu setiap orang dapat mengendalikan dan mencapai tujuan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.
Selain itu mengingat dalam firman Allah: وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. Hanya dengan demikian, kita dapat berharap untuk mencapai system politik yang lebih baik, di mana suara rakyat benar-benar dihargai dan dijunjung tinggi.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H