Saya tertarik mendengar pengakuan jujur teman saya,mantan seorang wartwan lokal di Bali.Menurutnya,ia sering merasa berdosa dalam merefortase sebuah berita karena  berita yang tercetak tidak obyektip.Hal ini disebabkan adanya pesanan dari nara sumber kepada redaktur /penanggung jawab redaksi sehingga berita yang termuat sering tidak sesuai dengan kata hatinya sebagai seorang insan pers.
Namun apa mau dikata dasar "keburtuhan perut" ia terpaksa menjadi "koki" yang menghidangkan makanan sesuai pesanan."Terus terang,saya gak berani terlalu edialis untuk mempertahkan prinsip -prinsip pers yang bebas bertanggung-jawab karena dibelakangnya saya ada sejumlah nyawa yang perlu makan dan kebutuhan lainnya.Akibatnya saya terpaksa melakukan "dosa profesi" yang sebetulnya pertentangan dengan kata hati"katanya jujur.
Bila dikaitkan dengan pengakuan jujur teman saya itu,rasanya tidak mengherankan kalau berita-berita yang termuat di media lokal di Bali dalam beberapa bulan terakhir ini kerap menimbulkan gerah,Fasalnya banyak berita yang memuji seorang figur secera berlebihan namun tidak sedikit pula yang mencaci maki,mengumpat habis-habisan seorang pejabat.Akibatnya ber,munculan pertanyaan ,"ada apa dibalik semua itu"? Kenapa profesi yang luhur dan berakses pada kepentingan rakyat itu diperjualbelikan dengan cara murahan? Mudah-mudahan pengakuan jujur teman saya yang mantan insan pers itu sebagai jawaban atas segala pertanyaan yang muncul untuk selanjutnya dibenahi oleh praktisi pers sehingga ke depan media/pers betul-betul menjadi corong untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H