Pada tahun 1961, John F. Kennedy pernah menghebohkan dunia internasional saat  melontarkan "The Moon Speech", pidato tentang sebuah misi yang tak lazim pada saat itu, yaitu misi ke bulan. Misi ini bisa disebut cukup radikal untuk menyaingi negara adidaya Uni Soviet. Bukannya tanpa asalan, John F. Kennedy memiliki mimpi besar untuk menjadi negara paling maju di dunia. Ia beranggapan bahwa ketika peradaban semakin maju, harus ada mimpi besar untuk melakukan hal-hal sulit. Karena dengan melakukan hal-hal sulit, sebuah negara bisa diubahkan.
Maka tak heran apabila terobosan radikal ini menjadi pemicu semangat bagi bangsa Amerika untuk bermimpi besar melakukan perjalanan ke bulan dan menjadi bangsa pertama yang bisa mengembalikan awaknya kembali ke bumi. Meski memakan waktu yang cukup lama dan percobaan berkali-kali, misi ini akhirnya tercapai oleh Neil Amstrong dkk. Ini menjadi pertanda besar bahwa bermimpi besar bukanlah sebuah hal mustahil asal ada kemauan dan tekad.Â
John F. Kennedy bisa dikatakan "sensasional" karena memiliki mimpi yang tidak lazim. Meski terlihat imajinatif dan penuh ketidakpastian, ia memiliki visi yang sangat jelas, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia tahu bahwa untuk mewujudkan mimpi ini, ia harus melakukan manuver tajam, pembaruan yang signifikan, termasuk mengubah sistem dan sumber daya yang ia miliki. Untuk menyampaikan misi dan mimpi ini, ia tahu bahwa harus ada komitmen dan orang-orang yang sejalan dengan pemikirannya. Oleh karena itu, untuk mencapainya, ia harus mengubah kendaraannya karena tak mungkin menggunakan kendaraan biasa untuk mencapai mimpi radikalnya. Kita tahu bahwa penelitian ke bulan gencar dilakukan dan uji coba peluncuran pesawat ke luar angkasa telah mengalami kegagalan berkali-kali. Tapi Amerika tidak menyerah.
Sebuah langkah radikal ini terkesan imajinatif. Tapi kalau ditilik dari latar belakangnya, John F. Kennedy setidaknya memegang dua prinsip yang tak boleh dilupakan oleh publik.Â
Pertama, ia selalu menantang dirinya untuk melakukan hal-hal yang tidak mudah. Melakukan hal-hal yang mudah adalah sikap yang sudah nyaman di zonanya dan enggan untuk berkontribusi lagi. Ketika orang rela bermimpi dan berkorban untuk melakukan hal-hal yang sulit karena ia bermimpi besar, sejatinya ia telah mengajak orang lain untuk berubah dan memiliki harapan. Karena dengan melakukan hal-hal sulit, sebuah bangsa bisa diubahkan.Â
Kedua, persaingan antara Amerika dan Uni Soviet pada waktu itu adalah ibarat musuh bebuyutan. Persaingan dalam militer, sains, dan lain-lain adalah pertarungan yang tak kunjung habis. Itu sebabnya ia tidak ingin dikalahkan oleh Uni Soviet dalam misi ke bulan. Menurutnya, ketika Uni Soviet berhasil mendarat di bulan, itu artinya telah "membokongi" Amerika karena melihat dunia dari pantat pesawatnya. Hal ini terdengar aneh, tetapi mengandung satu dorongan kuat untuk tak menyerah begitu saja. Demi harga diri bangsanya, ia harus memiliki mimpi besar untuk mengangkat martabat rakyatnya.
Mimpi besar yang dicetuskan oleh Joh F. Kennedy ini bisa disebut sebagai langkah eksponesial untuk mencapai tujuan secara signifikan, berbeda, dan radikal. Langkah eksponensial adalah sebuah pendekatan yang sifatnya tiba-tiba, memanfaatkan momentum yang ada untuk mencapai tujuan tertentu, dan tidak diadakan secara perlahan atau linier. Ini adalah momentum yang pas untuk melakukan perubahan secara drastis. Meski penuh dengan ketidakpastian dan harus melakukan berbagai terobosan, hal ini menjadi langkah tepat untuk mencapai tujuan dengan cara yang berbeda, belum pernah terjadi. Namun, apabila benar terjadi, maka sejarah akan mencatat idenya sebagai terobosan besar yang mengubahkan dunia. Inilah yang kita rasakan sekarang. Sejak adanya misi ke bulan, pengorbitan satelit di angkasa telah mengubah teknologi di dunia dan berdampak pada banyak hal.
Make it different! Mungkin hanya itu yang ada di pikiran John F. Kennedy. Ia berpikir dengan cara yang tidak biasa. Saat orang lain menjadi pengguna, ia berpikir keras untuk menjadi pencipta. Saat orang lain hanya menikmati, ia memulai sesuatu yang baru. Ia tidak ingin berlama-lama di comfort zone dan menantang dirinya ke strength zone yang ia miliki yaitu menjadi berbeda, berkontribusi dan bermimpi besar.
Jika kita kaitkan dengan dunia pendidikan di Indonesia, seberapa banyak di antara kita yang memiliki mindset eksponensial seperti John F. Kennedy? Sejak zaman Ki Hajar Dewantara, mungkin hanya segelintir tokoh pendidikan yang berani memiliki mimpi besar dan berusaha mewujdukannya. Atau barangkali, ada cukup banyak guru di luar sana yang memiliki mimpi besar, tapi terhalang oleh rintangan yang menggagalkan misinya karena dianggap berbeda dan nyeleneh. Atau mereka berhenti karena merasa tidak memiliki daya mewujudkannya karena sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Mungkin saja. Persoalan menjadi berbeda dan unik memang bukanlah sesuatu yang lazim di negeri kita, apalagi imajinatif dan halusinasi.
Nadiem Makarim mungkin salah satunya. Konsep merdeka belajar, Kurikulum Merdeka, kurikulum protipe, dan sejumlah gerakan lainnya adalah terobosan-terobosan baru yang dihadirkan di wajah pendidikan Indonesia. Mimpinya untuk mengubahkan potret pendidikan di Indonesia mirip dengan mimpi besar John F. Kennedy. Nadiem merasa bahwa sudah saatnya pendidikan di Indonesia melaju dengan cepat, bergerak dengan bebas, dan siswa bisa belajar dengan merdeka. Filosofi pendidikan yang diusung dari pemikiran Ki Hajar Dewantara ini sebenarnya telah ada, tapi belum terelalisasi. Oleh karena itu, ia mewujudkannya secara bertahap dengan sistem yang bisa dimulai dan dipraktikkan guru dan sekolah kepada siswanya.
Awalnya, konsep merdeka belajar ini mungkin dianggap aneh dan sulit. Untuk mengubah sistem yang sudah ada, Nadiem menyadari bahwa dibutuhkan terobosan baru untuk mengawalinya. Pasti akan muncul pro dan kontra, apalagi di tengah ketidakpastian kurikulum saat ini. Ketidakpastian ini menjadi ujiannya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa ini adalah momentum yang tepat untuk melakukannya. Dobrakan baru harus dilakukan. Guru-guru harus melek teknologi dan mau berbagi untuk saling menguatkan. Kolaborasi dan otonomi sekolah ditingkatkan. Pelatihan dan perekrutan pelatih ahli untuk membimbing sekolah-sekolah yang berkembang harus dimulai, begitu juga dengan program sekolah penggerak, guru berbagi, dan lain-lain. Semuanya tidak mudah, butuh waktu dan dukungan dari seluruh pihak. Dengan terkomunikasikannya misi yang jelas, tampaknya mimpi Nadiem untuk melihat potret pendidikan Indonesia yang baru dan dinamis mudah-mudahan terwujudkan.