Kedua, kreativitas guru yang telah terbiasa menggunakan learning management system (LMS)dan beberapa media kreatif lainnya terpaksa akan diparkir dulu karena terkendala oleh sarana dan prasarana di sekolah yang belum memadai-kecuali siswa dan guru sama-sama berani mengambil risiko untuk membayar kuota internet untuk bisa dipergunakan secara bersama-sama di sekolah.
Ketika kreativitas di masa-masa online itu terparkir, bukan tidak mungkin, guru dan siswa akan kembali ke gaya metode lama. Guru akan bekerja manual, kembali ke buku paket, handout dll. Siswa akan dicekoki dengan metode lama yang tidak lagi cocok dengan mereka. Kebiasaan memegang gadget akan perlahan-lahan hilang oleh minimnya sarana dan prasarana di sekolah yang tidak mendukung penggunaan teknologi. Sebutlah misalnya colokan listrik yang tidak memadai. Kita tak perlu berbicara mengenai jaringan internet dulu apabila kebutuhan colokan listrik tidak mencukupi. Minimnya colokan listrik akan menghambat siswa yang akan belajar dengan laptop atau gadget. Begitu juga dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang akan mengubah gaya belajar siswa ketika sudah dipadukan dengan teknologi.
Ketiga, meskipun sekolah memiliki sarana dan prasarana yang mendukung, akankah guru dan siswa konsisten menerapkan sistem pembelajaran online untuk dipindahkan ke dalam ruang kelas? Ataukah dengan terbayarnya kerinduan untuk bertatap muka dengan siswa akan membuat siswa dan guru akan lebih kreatif dan produktif di kelas? Kemungkinan ini saya rasa ada selama psikologis guru dan siswa berada pada frekuensi yang sama. Artinya, keberhasilan metode yang diterapkan di masa-masa belajar online tentunya harus tetap diterapkan. Learning management system (LMS) yang sudah terlanjur dipakai dan bermanfaat sebaiknya tetap dipertahankan. Begitu juga dengan media atau tools pembelajaran yang telah dipergunakan oleh guru selama mengajar online.
Keempat, dari faktor psikologisnya. Apakah guru masih akan menemukan ritme dan panggilan yang sama seperti dahulu ketika mengajar di kelas? Hal ini perlu dikaji karena kebiasaan selama setahun berkecimpung dalam kegiatan mengajar online dapat mengubah style atau gaya mengajar guru. Ketiadaan interaksi yang memadai di kelas online, secara tidak langsung bisa mengurangi intuisi dan emosi guru. Terus terang, mengajar online secara tidak langsung mengubah mentalitas guru. Keterbatasan ruang dan minimnya interaksi secara emosi, bisa mengubah persepsi guru mengenai generasi Covid ini. Kebiasaan yang mengandalkan teknologi, internet, dan LMS akan membuat guru ketergantungan. Di sisi lain, minimnya interaksi siswa dan psikologis siswa yang stress, jenuh, dan bosan selama belajar online, tentu mempengaruhi minat dan mentalitas belajar.
Pertanyaannya di sini adalah: apakah guru-guru telah siap mengajar dengan metode tatap muka lagi? Akankah akan menjadi kikuk dan perlu penyesuaian lagi? Bagaimana dengan perspektif siswa? Apakah mereka akan canggung untuk kembali ke sekolah dengan iklim dan budaya new normal? Akankah interaksi pembelajaran akan lebih hidup? Nah, cerita seputar dunia pendidikan ini memang begitu dinamis dan menarik untuk disimak kelanjutannya.
Lain guru dan siswa, lain pula dengan sekolah. Dengan sosialiasi penerapan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas, tentu bukanlah hal yang mudah. Mengapa? Karena dengan menerapkan PTM terbatas, itu artinya beban guru menjadi meningkat. Di satu sisi, mereka harus mengajar di kelas dengan beberapa siswa, sementara di sisi lain, mereka juga harus mengajar online. Bayangkan kalau pelajaran itu harus dilakukan berbarengan? Kalau tidak berbarengan, berarti guru harus mengajar dua kali. Pihak sekolah juga akan sangat terbebani karena harus mengatur jadwal guru dan siswa secara berbeda.
Agaknya, perpindahan dari online ke offline ini memang sedikit runyam. Di satu sisi, ada kerinduan untuk kembali ke sekolah karena siswa sudah bosan terlalu lama di rumah dan tidak mendapatkan pembelajaran yang efektif. Di sisi lain, orang tua juga mungkin merasakan beban ganda karena harus mengajari anak-anak mereka di rumah saat belajar online. Namun, di pihak lain, Kemendikbud dan pihak sekolah juga bisa jadi merasakan hal yang sama, namun mengalami kesulitan untuk memilih dan menjalankan peran ganda: antara online dan offline. Kedua-duanya masih menjadi pilihan yang diberikan kepada orang tua, namun tidak pada sekolah. Dengan adanya PTM terbatas, mau tidak mau, sekolah harus menjalankannya untuk membuktikan bahwa pembelajaran kepada siswa tak boleh berhenti dan harus dilakukan dalam keadaan apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H