Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang bapak yang makin tua dan bahagia

IG: @belfinpaians

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Guru dan Siswa Harus Berubah

15 Januari 2021   06:00 Diperbarui: 15 Januari 2021   06:38 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Game Planner?

Untuk setidaknya mengikis kekhawatiran akan pandemi ini, sekolah dan para pelaku pendidikan di Indonesia sejatinya masih bisa berbuat sesuatu. Berlaku pasif pasti tidak akan memberikan solusi apa-apa. Paling tidak, kemampuan melihat kesempatan terbuka untuk mencari ruang gerak dalam mengantisipasi kekosongan 'pengajaran' di tahun ini masih bisa dilakukan. Game planner! Sekolah harus mengadakan perencanaan matang meski dapat dikatakan darurat. Tak hanya plan B, di situasi ini, plan C barangkali perlu diuji dan direalisasikan. Kemampuan para pemimpin sekolah diuji untuk mampu membuat guru dan siswa bertahan untuk menjalani masa-masa sulit ini.

Saya sendiri meyakini bahwa perubahan tidak akan pernah menyenangkan. Perubahan menuntut kita untuk bertindak 'kejam' pada diri sendiri karena memaksi kita untuk mendorong batas kemampuan kita untuk berprestasi dan keluar dari zona nyaman. Setidaknya itu adalah keyakinan yang harus dipegang untuk terus bertahan. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan dalam masa-masa sulit adalah beradaptasi dan kalau memungkinkan mengatasi persoalan sulit itu dan menikmatinya sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan.

Nah, untuk itu, pemimpin sekolah, pemerintah, guru, orang tua, dan siswa harus mampu menerima perubahan maupun perencanaan yang telah disiapkan oleh pemerintah. Bersikap mengeluh dan seolah-olah putus harapan perlu dikesampingkan dulu. Kita butuh perubahan rencana. Pemimpin sekolah juga tak perlu pasif dan terkesan menunggu keputusan pemerintah. Ada langkah-langkah solutif yang bisa dilakukan sembari mengikuti arahan pemerintah. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan guru dan siswa memasuki kelas online.

Saya menyadari bahwa perubahan rencana ini memang tidak menyenangkan. Bisa jadi membebani guru dan siswa. Akan tetapi, saya percaya peribahasa yang mengatakan 'ala bisa karena biasa', bahwa hanya awalnya saja yang sulit. Setelah kita terbiasa, siapa tahu kelas online ini justru membawa berkah dan memberi secercah harapan bahwa guru-guru di Indonesia adalah agen pelaku perubahan yang tak mau kalah dengan perubahan. Begitu juga dengan siswa-siswa. Mereka perlu menunjukkan bahwa ketiadaan tatap muka di kelas bukanlah penghalang untuk belajar. Ibarat kata, banyak jalan menuju Roma. Selama ada kemauan, jalan keluar akan selalu terbuka. Apakah kita sudah siapa untuk memiliki keyakinan itu. Itu adalah pilihan kita. Stay in our comfort zone or be a game planner? 

Tantangan Guru dan Siswa

Di masa-masa krisis seperti pandemi ini, tantangan pendidikan yang paling dikhawatirkan adalah terjadinya ketimpangan pendidikan di Indonesia. Hal ini bermula dari terjadinya perubahan sistem pengajaran dari tatap muka ke dunia maya. Guru tidak siap, begitu juga dengan siswa. Ironisnya lagi, pemerintah juga kaget dengan perubahan ini dan terpaksa menyusun sederet rencana darurat untuk mengatasi keresahan dan kegelisahan di sekolah. Ketidaksiapan ini disebabkan juga oleh tidak meratanya sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah. Jangankan sarana dan prasarana, selain sumber daya manusia yang masih tidak siap, siswa dan orang tua juga tidak siap dengan peralatan pendidikan yang telah digantikan dengan layar komputer, HP, dan ketergantungan pada internet. Buku dan pensil seolah dimuseumkan karena tidak dibutuhkan lagi.

Persoalan ini makin diperkeruh oleh situasi ketergantungan pada provider internet yang ternyata tidak mampu menjangkau beberapa daerah di Indonesia. "Susah sinyal" dan ketiadaan gawai menjadi penghalang utama untuk mampu mengakses sistem pendidikan bernuansa online. Banyak cerita yang diberitakan di media sosial dan media massa cukup miris dan membuat kita tersadar bahwa memang pendidikan kita mengalami krisis terberat sepanjang sejarah. Bagaimana tidak, perubahan yang sedrastis ini memaksa seluruh pelaku pendidikan mulai dari jajaran pemerintah dan orang tua harus terlibat untuk memastikan bahwa siswa masih tetap mendapatkan pendidikan.

Kisah perjuangan pilu para guru dan siswa di pedesaan yang berjuang untuk dapat terus belajar perlu mendapatkan perhatian. Meski dengan adanya pembagian kuota gratis kepada guru dan siswa supaya dapat belajar, tentunya perlu disikapi dengan kerja sama seluruh pihak untuk memberikan bantuan berupa komputer dan gawai. Paling tidak, meski terkesan bertahap, tetapi tidak mengecilkan hati para siswa yang kesulitan mendapatkan akses pendidikan. Meski memang ketimpangan terjadi, setidaknya halangan dan tantangan ini masih bisa diperjuangkan.

Usulan Solusi

Selain mengubah rencana pendidikan dan pembelajaran, setidaknya masih ada satu solusi terbaik yang bisa dilakukan oleh pemerintah, sekolah, orang tua, dan guru yaitu kolaborasi. Dengan hanya mengandalkan pemerintah, sepertinya butuh waktu yang sangat lama untuk mampu mengatasi persoalan pendidikan, terutama yang berada di pedesaan maupun pedalaman. Pihak sekolah dapat berkolaborasi dengan pemerintah setempat, LSM, atau instansi sosial terkait, dan orang tua untuk memberi akses pendidikan kepada siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun