Mohon tunggu...
Nana Blasius
Nana Blasius Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Nana

KEPRIBADIAN: Bersahabat, suka diskusi, Membaca, Menulis, traveling

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ibuku Ternyata Mantan Karyawan Papa

8 Januari 2024   22:33 Diperbarui: 9 Januari 2024   06:30 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi:  ilustrasi kesedihan seorang anak 

Ponsel saya berbunyi jam 16 WIB. Seperti biasa rutinitas ku jam segitu kalau bukan membaca palingan belajar menulis walau sekedar menuangkan pengalaman fakta dan fiksi yang pernah ada agar menjadi sesuatu yang bernilai di kemudian hari. Saya mencoba mengabaikan ponsel Vivo 12 dengan layar retak itu menyala di atas bantal. Bukan tanpa alasan karena pada jam yang sama , saya sedang membaca tulisan seorang dosen dari Universitas Katolik Parahyangan, tentang "Dilema Menjadi Indonesia". Bagaimanapun juga tulisan yang bermutu dan menarik patut  untuk dibaca. Itulah mengapa saya mengabaikan notif WhatsApp yang masuk tepat pada pukul 16.15 WIB. 

Saya sempat terganggu tatkala ponsel itu berbunyi untuk kesekian kalinya. Dengan segera saya meletakkan majalah komunikasi yang sedang saya baca lalu mengambil dan mengecek pesan WhatsApp yang masuk. Dan ternyata itu adalah Lia. Cewek Sunda berusia 24 tahun itu selain cantik tetapi juga berkepribadian baik dan sopan. Dia sosok perempuan yang easy be friend yang saya kenal, berwawasan luas, suka berdiskusi dan berbagi pengalaman unik yang dialaminya semasa kuliah S1 di UGM. 

Bukan kali pertama Lia mengajak saya ngopi di sebuah Cafe favorit nya di Dipatiukur. Dengan ajakan berkedok diskusi, saya pun dengan segera membuat janji untuk bertemu jam 17.30 di tempat yang ditunjukkannya. Sesampainya di sana, Lia sudah tiba lebih awal 15 menit dari waktu yang ditentukan. Wajah putih halus nan alami tampak cerah dan ramah menyambut kedatangan ku kala itu. 

Seperti biasa, setiap kali bertemu, saya selalu menanyakan apakah keberadaannya sudah diketahui oleh pasangannya atau tidak. Hal ini perlu agar tidak menimbulkan kecurigaan atau prasangka buruk terhadap kami berdua. Namun dengan tegas dia mengatakan bahwa "sebelum saya mengetahui siapa ibu kandung saya, saya tidak akan pernah menerima siapapun untuk menjalin asmara dengan saya". 

Jawaban itu sungguh mengejutkan saya. Dan saya mencoba menahan diri agar tidak masuk terlalu jauh ke dalam masalah pribadinya. Bagaimanapun juga saya tidak punya hak dan tidak seharusnya tahu tentang kehidupan dia. Walaupun persahabatan kami sudah berjalan 2 tahun, namun tidak pernah sekalipun saya menanyakan perkara masa lalunya. Bahkan setiap moment yang kami lalui, tidak pernah ia menceritakan masalah dalam keluarganya. 

Namun ternyata, Lia sudah terlalu lama menjalani hidup penuh sandiwara. Bagi sebagian orang, bersikap profesional dalam menghadapi masalah merupakan pertanda bahwa kita betul-betul berdewasa dalam hidup. Bagi Lia, sikap seperti itu memang perlu dalam menghadapi masalah agar masalah itu tidak mempengaruhi relasi sosial maupun pekerjaan kita. Dilain sisi, kita sebenarnya sedang menjalani hari-hari hidup dengan penuh sandiwara. Karena kita harus pura-pura tegar, kuat, dan selalu tersenyum di hadapan banyak orang, padahal menyimpan begitu banyak fenomena tragis yang memilukan dalam hidup. 

Lia, yang selama ini terlihat tegar, semangat, dan enjoy menjalani perkuliahan S2 di UIN ternyata memiliki masalah yang sangat berat dan menyakitkan. Rupanya ini yang menjadi tujuan utama mengapa dia mengajakku untuk bertemu sore ini, yaitu menceritakan apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya. Menjalani hidup tanpa seorang ibu merupakan sesuatu yang menyedihkan sekaligus menyakitkan yang dialaminya selama ini. Sudah begitu lama, Lia menyimpan sejuta hasrat dan kerinduan untuk mencari dan bertemu dengan ibu kandungnya. Namun ini sesuatu yang sangat sulit untuk dijalani. Apalagi ia kurang begitu tahu siapa dan seperti apa wajah ibu kandungnya. 

Terlalu dini baginya ketika kejadian itu menimpa dirinya. Selain didorong oleh rasa kehausan akan kasih sayang seorang ibu, hinaan Keluarga dan tetangga juga menjadi dorongan yang kuat untuk mencari sosok ibu yang melahirkannya. Sudah berkali-kali mencoba mencari tahu dengan bertanya kepada banyak orang termasuk ayah dan keluarga dekat, namun tampaknya mereka memilih menutup mulut ketimbang menceritakan masalah yang sebenarnya. Ada pun ayah. Setiap kali bertanya kepada ayah, Ayah selalu meyakinkannya bahwa dia adalah anak kandung dari ibu yang mengasuhnya sejak kecil hingga sekarang. 

Pengakuan sang Ayah rupanya tidak begitu meyakinkan Lia. Karena sungguh sangat bertentangan dengan situasi yang dialaminya saat ini, terkhusus hinaan dan penolakan dalam keluarga. 

Sehari sebelum kami bertemu, Lia sempat berkunjung ke rumah temannya (Erik). Bukan tanpa alasan dia bermain ke sana. Tatkala pikiran penat dan tak bisa lagi diajak berpikir, berdiskusi dengan teman sekelas menjadi solusi terbaik dalam menyelesaikan tugas. Usai mengerjakan tugas, Lia sempat menghabiskan waktu bersama Erik dan kedua orangtuanya untuk ngopi dan ngobrol santai di ruang tamu. Ibu Ayi. Itulah nama ibu Erik yang begitu welcome dan ramah menyambut siapapun teman Erik yang bermain ke sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun