Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Telinga

11 Januari 2022   16:25 Diperbarui: 11 Januari 2022   16:28 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telinga. Pasang  telinga. Pohon telinga. Daun telinga. Ada comelan: 'Bagus, kupas tentang lidah, gigi, mulut, langsung ke kaki. Saya terlewati'.  'Aduh, maaf, telinga, kamu bukan terlewati tapi belum giliran. Sekarang giliran kamu,  telinga. Ternyata tembok juga ada telinga sehingga dengar semua apa yang kami omong'. 

Telinga. Kita manusia, tanpa telinga ibarat pohon tanpa daun. Telinga ada untuk dengar. Nafsu kita suka dengar apa saja, pasang telinga dan langsung telinga berdiri. Nalar kita mau dengar banyak pengalaman dan pengetahuan lewat telinga, hanya terkadang masuk lewat telinga kanan ke luar lewat telinga kiri. Naluri kita suka dengar ceritera suka-duka, sukses-gagal dari teman. Untuk dengar yang begitu-begitu, telinga berdiri. Nurani kita sering buka telinga lebar-lebar untuk hal-hal yang negatif sedang untuk hal-hal yang positif kita tutup telinga rapat-rapat.  (4N, Kwadran Bele, 2011). 

Jewer telinga, tarik telinga, cubit telinga sering terjadi dalam dunia pendidikan. Tidak boleh. Ini kekerasan. 

Telinga itu tempat hiasan tergantung, anting-anting, tempat gagang kaca mata dikaitkan. Serba guna. 

Telinga lambang diri pribadi manusia. Di kalangan suku Buna', di pedalaman Pulau Timor, telinga itu mewakili diri pribadi manusia. Waktu masih ada perang antar suku, tahun 1800-san, musuh yang dikalahkan dipotong telinganya dan dibawa pulang oleh pemenang, dijemput di luar kampung, diarak,  lalu digantung di tiang induk di tengah kampung. Kemudian dipestakan dengan tarian 'likurai', tarian yang ditarikan oleh kaum perempuan dalam bentuk lingkaran, sambil memukul genderang kecil yang diapit di antara lengan kiri dan dipukul beriraman dengan kedua telapak tangan. Beberapa laki-laki menari dengan pedang terhunus sebagai tarian menang perang.

Orang suku Buna' ini juga ada kepercayaan, PENCIPTA DUNIA ini 'ber-TELINGA satu, ber-MATA satu' (Gepal kere', Giral uen) artinya ketunggalan, tidak ada bandingnya karena DIA ada dengan sendirinya tanpa dijadikan oleh siapa pun. DIA itu maha mendengar, maha melihat, abadi.

Telinga kita harus terpasang kepada SABDA dari TUHAN, bukan kepada yang lain-lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun