Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup dari Sudut Filsafat (47)

30 April 2021   18:48 Diperbarui: 30 April 2021   18:50 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup itu pandang. Hasilnya, orang terpandang. Ada awasan, 'tidak pandang bulu, jangan pandang bulu'. 'Bicara itu pandang orang sedikit. Jangan pandang enteng'. Ungkapan-ungkapan ini merupakan pernyataan bahwa hidup itu pandang, memandang dan dipandang. 

Kita manusia ini biasanya pandang sesama itu sesuai penampilannya secara lahiriah. Ini wilayah nafsu. Sesama diukur dengan materi. Ini cara pandang tingkat pertama, tingkat paling rendah.  Sesama pun tampil dengan segala hiasan materi, atribut pangkat dan gerak diatur untuk jadi terpandang. Dorongan nafsu ini kalau tidak dikendalikan, manusia dengan manusia saling pandang atas dasar  jumlah rupiah, mahalnya busana dan megahnya rumah.

Cara pandang tingkat kedua adalah cara pandang dengan nalar. Manusia ada nalar dan ingin jadi terpandang dalam bidang ilmu pengetahuan dan pengalaman. Nalar diasah dengan kuliah ber-semester-semester, dilengkapai dengan gelar muka belakang. Pandang sesama dari gelar ilmiah. Jadi terpandang sebagai ilmuwan. Seminar sana seminar sini. Sertifikat ilmiah berlapis-lapis. Ini karya nalar. Bagus kalau itu digunakan untuk kesejahteraan diri dan sesama. Ada juga yang mencelakakan diri dan sesama. 

Cara pandang tingkat ketiga adalah cara pandang dengan naluri. Manusia ada naluri untuk pandang orang atas dasar pengaruh, kuasa dan jabatan. Secara naluri, manusia ingin terpandang. Boleh sekali. Asal jangan jilat ke atas tendang ke bawah. Pandang orang itu sesuai status dan derajatnya. Kejar status, kejar derajat yang tinggi dalam masyarakat, boleh sekali. Asal orang pandang orang terpandang itu benar-benar terpandang karena berbudi luhur. Tidak pura-pura, tidak mengada-ada. 

Cara pandang tingkat keempat, tingkat yang paling tinggi adalah cara pandang dengan nurani. Manusia ada nurani untuk jadi manusia yang pandang orang lain sebagai saudara yang sama di dalam masyarakat dan sama di hadapan TUHAN. Ini cara pandang yang muncul dari nurani yang jernih. Pandang memandang antara sesama dengan nurani yang murni menghasilkan hidup yang aman, damai penuh kasih. 

Empat cara pandang ini adalah cara pandang dalam hidup yang sebenarnya. (4N, Kwadran Bele, 2011). Hidup itu pandang diri dan sesama secara utuh. Empat cara yang diurutkan menjadi empat tingkat ini  digunakan secara serentak. Hidup jadi taman bunga dipenuhi semerbak ibarat harumnya bunga di di tengah sesama dan di hadapan TUHAN. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun