Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup dari Sudut Filsafat (43)

28 April 2021   20:50 Diperbarui: 28 April 2021   21:23 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup itu nanti, bukan sekarang. Kalau begitu sekarang ini apa? Bukan hidup? Sekarang ini pemenuhan nanti. Terus berlanjut dari nanti ke nanti  sampai nanti. Nanti jadi apa? Yah, hidup yang hidup ini akan terus bergulir nanti dan berakhir pada nanti. 

Kita ada nafsu makan, karena lapar. Nanti kalau makan, kita kenyang. Habis kenyang nanti lapar lagi. Kita ada nafsu untuk menanggap nanti ini. Kita ada nalar untuk pikir nanti ada apa. Nalar kita itu ada untuk menanggap nanti ada apa yang selanjutnya nanti dan nanti. Kita ada naluri untuk nanti menjumpai sesama yang satu disusul yang lain dan nanti terus berganti. Kita ada nurani untuk menikmati ketenangan yang nanti disusul dengan kedamaian yang nantinya akan dipenuhi dengan kebahagiaan. Untuk meniti nanti ke nanti inilah kita hidup. 

Hidup ini nanti beralih dari nanti ke nanti dan rentetan nanti itu terdorong oleh empat N dalam diri kita: Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani. Hidup ini untaian nanti tanpa henti. (4N, Kwadran Bele, 2011).

Itulah hidup yang nanti dan terus nanti dari yang sekarang ke nanti yang lain. Nanti berganti lagi jadi hidup yang nanti besok lain lalu lusa lain  sampai tidak tahu kapan nanti ini beralih ke nanti yang lain lagi. Yakinlah hidup ini akan berlanjut sampai memasuki nanti abadi tanpa ada batas waktu dan tempat.

Nanti sesudah hidup yang dibatasi oleh ruang dan waktu di alam dunia ini memasuki hidup dengan rantai nanti abadi, Nafsu tak akan lagi terhalang, Nalar tak akan lagi terpalang, Naluri tak akan lagi terhadang dan Nurani tak akan lagi terpanggang. Hidup yang nanti itu cerah terentang dalam nanti lestari.

Hdup yang lain nanti tiba sebentar, besok, lusa. Tak terulang hidup yang lalu, kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu. Hidup adalah Nanti yang ada di depan kita. Dalam meniti hidup yang serba nanti ini, saya, anda, dia, kita, tetap berjaga entah dalam lelap tertidur. tegap berdiri atau duduk terpaku. Hidup dalam rentetan nanti ini, tidur pun adalah sambungan napas nanti menanti terbukanya mata yang diistilahkan dengan kata bangun. 

Nanti yang sementara ini akan memasuki gerbang nanti abadi yang kita istilahkan dengan kata mati. Pada saat itu kita saling memandang tanpa ada lagi tembok pembatas dan selubung penudung tubuh kita karena tubuh sudah lebur menjadi hablur tembus pandang. Pada saat tibanya nanti abadi itulah kita menyatu dengan Maha Nanti, TUHAN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun