Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hidup dari Sudut Filsafat (21)

4 Maret 2021   21:35 Diperbarui: 4 Maret 2021   21:46 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup itu cerah. Sering ada yang mengeluh, hidup saya ini gelap. Saya tidak tahu mau buat apa. Keluhan seperti ini tidak beralasan. Karena hidup itu cerah, tidak ada kabur atau gelap. Ibarat langit yang cerah, tidak ada awan atau kabut. 

Cerah. Itulah hidup. Bisa terjadi ada hambatan atau tantangan. Itulah yang disebut gelap. Bukan hidup yang gelap. Titik tolak pemikiran itu harus dari Sang Pemberi Hidup. DIA memberi hidup kepada setiap kita, saya, anda, dia, kita. Kita diberi hidup yang cerah, terang, gemilang. Bukan kabur atau gelap. Lalu yang membuat gelap itu siapa? 

Hidup itu cerah tanpa ada senoktah kabut pun di sana. Terang terus, tidak ada gelap. Kita diberi empat unsur dalam diri kita untuk memandang hidup, menyandang hidup, menjalani hidup. Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani. (4N, Kwadran Bele, 2011). 

Dengan nafsu kita merengkuh hidup, mereguk hidup sampai sepuas-puasnya. Gelas itu diisi dengan air sebanyak daya tampungnya. Mengapa hanya isi setengah atau tiga-perempat saja? Itu masih mendingan. Yang tidak baik itu isi gelas itu sampai air tertumpah. Ini tanda nafsu tidak diatur. Melampaui daya tampung. Air terbuang, gelas basah, meja kotor. Salah siapa? Hidup itu cerah kalau nafsu tersalur sesuai batas-batas yang wajar. 

Dengan nalar kita menjelajah belantara pengetahuan. Cari tahu yang perlu dan berguna. Pakai pengetahuan itu jadi pengalaman yang  indah untuk diri dan sesama. Itu berarti hidup cerah, tidak kabur. 

Dengan naluri kita menjabat tangan sesama. Kalau meramas tangan sesama, memilin lalu mematahkan tangan sesama, tanda naluri tersalur secara salah. Hidup yang cerah dalam diri dan sesama terganggu dengan kabut angkara murka. 

Dengan nurani kita menghirup sejuknya nafas kehidupan. Tenang dan damai. Hidup cerah. Kalau nurani diisi dengan segala ulah culas, dengan sendirinya ada kegelapan di sana. Itu bukan berarti hidup yang gelap, tapi diri kita yang gelap mengusir cerahnya hidup.

Hidup itu cerah. Sendiri cerah, sesama cerah dan alam pun ikut cerah. TUHAN Sumber hidup mau yang cerah seperti itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun