Hidup itu lapang. Lapang dada. Terbuka. Siapa saja boleh lalu lalang di tanah lapang. Bahkan hewan pun sering merumput bersama para bocah bermain bola. Karena lapang disebut lapangan. Hidup karena lapang maka kehati-hatian dan kewaspadaan yang tinggi diharapkan dari setiap kita yang hidup.
Saya, anda, dia, kita yang hidup ini menjalani hidup yang lapang, terbuka, bebas dimasuki dan dirasuki oleh siapa pun saja. Sering ada yang sekedar istirahat di tanah yang lapang itu, tapi sering ada yang mengotori dengan membuang sampah di sana. Inilah yang membuat manusia perlu hati-hati dan waspada.
Karena lapang, dikira oleh kita manusia, dalam hidup ini bisa buat apa saja, bebas tanpa batas. Karena lapang, maka nafsu lihat apa saja dan mau nikmati apa saja. Nalar pun merasa tahu apa saja dan rasa diri serba tahu luas pengalaman. Naluri untuk gerak bebas memacu diri manusia untuk seenaknya melanglang buana sejauh ada kesempatan dan kemungkinan. Nurani tidak lagi diperhatikan karena manusia berdiri di tanah lapang merasa lepas dari segala awasan, termasuk awasan dari nurani.
Hidup itu lapang makanya gampang terhadang, penuh tantangan. Tegak di tengah tanah lapang, jadi umpan peluru. Karena hidup itu lapang, maka tantangan pun tidak tanggung-tanggung. Datang silih berganti. Tantangan yang pertama biasa datang ganggu nafsu.
Kita disajikan berbagai tawaran untuk dinikmati. Nafsu jadi berkobar untuk terima setiap tawaran itu. Jangan takut. Ada nalar. Dia berfungsi menjaga manusia untuk tetap tegak bertahan pada hal-hal yang benar, baik dan berguna. Naluri langsung membantu dengan adanya begitu banyak sesama manusia yang baik memberikan bantuan.
Uluran tangan dari sesama memberikan kekuatan untuk melawan tawaran yang menawan tapi merusak. Waktu nafsu dikekang, nalar melindungi dan naluri membantu, nurani bersorak ria, memuji sosok manusia yang hidup melintasi lapangan terbuka berlapang dada menjadi pemenang lawan gempuran peluru jahat. (4N, Kwadran Bele, 2011).
Hidup tidak semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Kita manusia hidup dengan hati lapang karena ada kekuatan luar biasa dalam diri kita yang dikira lemah tak ada daya. Kekuatan yang terdiri dari empat N: Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani, ibarat bangunan, kokoh berdiri di atas empat pilar. Tak ada lawan yang mampu merobohkan bangunan diri kita sejauh kita tidak lengah.
Hempasan badai di dalam hidup yang lapang ini cuma ujian untuk menunjukkan bahwa diri kita manusia ini kuat, mampu mengatasi semua terpaan itu dengan bantuan dari DIA, PEMBERI hidup itu sendiri. Tidak pernah TUHAN biarkan manusia jatuh terkapar di tengah tanah lapang. Pegang Tangan-Nya yang senantiasa terulur untuk menopang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H