Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hujan dari Sudut Filsafat

23 November 2020   16:48 Diperbarui: 23 November 2020   17:06 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan turun sesuai musim. Musim itu berganti sesuai hukum alam. Kita manusia tak mampu merubah pergantian musim. Merusak pergantian musim, mungkin. Tapi merubah atau mengganti sesuka kita manusia, tidak mungkin. Itu di luar kemampuan kita. 

Kita hidup dalam musim. Daerah tropis kenal dua musim, musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan, turunlah hujan membasahi bumi. Hujan turun dan disambut dengan riang gembira mulai dari manusia, binatang dan tumbuhan. Ada aliran air. Ada genangan kolam. Ada kehijauan. Ada kehidupan. 

Bumi yang dahaga terpuaskan oleh basahnya air hujan. Masa penantian yang lama berbulan-bulan selama kemarau terobati oleh curahnya hujan di mana-mana. Sungai yang tadinya kering kerontang menampung aliran deras dari bebukitan di sekitarnya. Hujan yang dianggap biasa sebenarnya luar biasa.

Nafsu manusia untuk menggarap alam tanpa pertimbangan Nalar yang matang menyebabkan hujan turun tidak beraturan lagi. Naluri manusia untuk akrab dengan alam sudah luntur. Alam seolah-olah musuh yang harus dibasmi. 

Nurani manusia sering tidak lagi didengar bahwa pengrusakan alam secara berlebihan itu merusakkan eko-sistem alam sehingga hujan yang diharapkan untuk turun secukupnya tidak lagi seperti biasa. 

Dalam hal ini filsafat keseimbangan, 4N, NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI  tidak lagi diindahkan sehingga kerusakan alam semakin menjadi dan mata rantai kerusakan alam terjadi secara beruntun. Hujan kurang, tanaman mati, pakan ternak kurang, ternak mati, manusia menderita kekeringan dan kekurangan bahan pangan. 

Manusia bunuh diri karena NAFSU menggarap alam tidak terkendali. NALAR untuk menjaga kelestarian alam tidak lagi dipakai sebagaimana mestinya. NALURI untuk hidup bersama dengan orang lain di alam yang sama-sama dijaga tidak lagi diperhatikan. 

NURANI untuk menyadari bahwa alam itu anugerah Sang Pencipta tidak lagi dijadikan patokan untuk bertanggung-jawab terhadap keutuhan dalam alam. (Kwadran Bele, 2011).

Hujan itu pemenuhan dorongan dan keinginan Nafsu manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Nalar manusia ada untuk mendaya-gunakan curahan hujan secara tepat dan hemat. Naluri manusia sudah tersiap untuk memanfaatkan turunnya hujan sebagai anugerah Tuhan untuk semua manusia tanpa kecuali. 

Nurani manusia seharusnya menjadi sejuk mensyukuri turunnya hujan sebagai Rahmat tanpa diminta oleh manusia. Tiap tetes hujan itu adalah tetesan Rahmat. 

Hujan kurang, mengeluh. Hujan berlebih, menggerutu. Heran, manusia berdoa minta hujan turun. Manusia berdoa agar hujan berhenti. Apakah kita manusia berdoa agar pengrusakan alam dihentikan? Paling-paling teguran dan hukuman yang tidak setara dengan pengrusakan dan akibat yang ditimbulkan. Yang paling utama itu, adalah kesadaran pribadi dan bersama bahwa alam ini dari Allah. Hujan adalah bukti nyata Rahmat itu. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun