Agustus itu nama bulan. Kata Latin, 'augustus' artinya, yang mulia, yang terhormat. Gelar 'Augustus', 'Yang mulia' pertama kali diberikan oleh parlemen kekaiseran Romawi kepada Kaisar Romawi yan bernama Gayus Julius Caesar Octavianus yang memerintah dari tahun 27 Sebelum Masehi sampai dengan tahun 14 Masehi. Â
Untuk menghormati Kaiser Augustus ini, nama bulan keenam dalam kalender Romawi, bulan Sextilis diberi nama Bulan Augustus yang kita pakai sampai sekarang ini.Â
Yang menjadi sangat istimewa adalah pribadi Kaiser Augustus ini menjadi orang yang pada zaman pemerintahannya, terjadi peristiwa lahirnya YESUS KRISTUS pada saat Kaiser ini mengadakan pendaftaran di seluruh wilayah kekuasaannya dan saat kelahiran YESUS KRISTUS itu dihitung mulainya tahun Masehi yang dipakai sampai sekarang ini.Â
Peristiwa sejarah ini erat dikaitkan dengan nama Kaiser Augustus dan itu terjadi 2000-an tahun lalu. Untuk kita orang Indonesia, bulan Agustus juga menjadi bulan istimewa karena hari proklamasi kemerdekaan kita tejadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Agustus itu ejaan nama bulan versi Indonesia dari nama sebenarnya, Augustus. Manusia menyejarah. Sejarah dibuat oleh manusia.Â
Besar tidaknya satu nama, tercatat atau tidaknya nama seseorang dalam sejarah, bukanlah persoalan bagi manusia karena tiap orang ada sejarahnya dengan perbedaan pada luas tidaknya peristiwa itu diketahui banyak orang.Â
Sudah 2000 tahun lebih Kaiser Agustus dikenal dan dikenang. Manusia tidak boleh dinilai berdasarkan kemasyhuran atau kebesaran namanya atau peristiwanya.Â
Manusia tetap manusia, sama besar dan sama masyhur karena kemanusiaan yang ada dalam diri setiap manusia itu sama, tidak lebih tidak kurang.Â
Dari tokoh Kaiser Augustus ini kita pelajari banyak hal. Manusia tidak merencanakan hidupnya sendiri. Dia tidak pernah merencanakan kelahiran YESUS KRISTUS pada masa pemerintahannya.Â
Ada yang mengatur dan mengetahui apa yang akan terjadi. Itulah DIA, PENCIPTA. Kalau kita berfilsafat di luar dari DIA, maka filsafat kita itu hambar malah hampa, tak ada isinya.Â
Karena kita berfilsafat di luar keberadaan DIRI SANG PENCIPTA, maka yang namanya mencintai 'kebenaran', mencintai bayang-bayang kebenaran dan bukan kebenaran itu sendiri. Jadi kita berfilsafat ini berpikir secara mendalam tentang kebenaran dan kebenaran itu adalah DIA, SUMBER KEBENARAN itu sendiri.