Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Warna dari Sudut Pandang Filsafat

18 Juli 2020   09:16 Diperbarui: 18 Juli 2020   09:12 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Warna ada sehingga segala yang ada di sekitar kita jelas dipandang. Kalau semua bening, kita akan menabrak ke sana-sini. Sesama manusia pun akan saling bertubrukan karena kalau berpapasan tidak bisa melihat siapa dan siapa. Tidak bisa dibayangkan kalau dunia tanpa warna.

Suku Buna' di Timor mengawali hari dengan warna: 'Pan bul belis', (bahasa Buna') artinya, 'Kaki langit putih' di sebelah Timur berarti matahari hampir terbit, dan semua orang mulai bangun menggeluti acara masing-masing.

Warna putih dalam ilmu melukis bukan warna, tapi dalam ilmu lingkungan menurut saya, warna putih adalah warna dasar segala warna. Mulai dari kulit manusia, ada rupa-rupa warna. Dan tidak ada satu manusia pun yang memesan warna untuk kulitnya sebelum dia lahir. Sehingga membedakan malah saling merendahkan manusia atas dasar warna kulit memang satu kekeliruan besar.

Warna menimbulkan NAFSU dalam diri manusia. Sebaliknya NAFSU manusia menimbulkan warna. Nasi putih dijadikan kuning karena nafsu. Bilangnya lebih enak. Rumah dicat dengan rupa-rupa warna, katanya lebih anggun. Pakaian warna-warni, para pesolek gonta-ganti warna. Ini semua karena dalam diri manusia ada NAFSU.

Untuk membuat warna, membedakan warna, menggunakan warna, ada NALAR. Untuk jurusan tertentu di Perguruan Tinggi dibutuhkan orang yag tidak buta warna. Ini tuntutan NALAR. Penentuan lampu lalulintas atas tiga warna, hijau-kuning-merah, kesepakatan NALAR untuk memberi arti dari setiap warna. Kalau ada pengemudi yang NALAR-nya kacau dan tidak bisa membedakan warna dan tidak memahami arti warna lampu lalulintas, maka kacau- balau lalu-lintas di saat itu. NALURI manusia langsung tergerak oleh warna yang disepakati.

Pakaian hitam di kalangan beberapa suku, warna berkabung. Sedangkan di kalangan etnis Tionghoa, warna putih merupakan warna berkabung. Akan jadi aneh dan merusak suasana kalau seorang etnis Tionghoa mendatangi tempat duka di Timor dengan warna pakaian serba putih. Warna mempunyai makna berdasarkan NALURI manusia.

Merah berani, putih suci. Itu suasana bathin orang Indonesia. NALURI kita bangsa Indonesia tergerak oleh berkibarnya lembaran kain berwarna merah-putih yang disepakati sebagai warna bendera Indonesia. Secara NALURI semua kita manusia sepakat bahwa langit dan laut itu berwarna biru pada hal di sana bening semata. NURANI manusia membisikkan keagungan PENCIPTA dengan simbol warna kuning dikaitkan dengan nilai logam emas yang mahal harganya. 

Empat unsur dalam diri kita manusia, NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI yang membedakan segala yang ada di sekitar kita berdasarkan warna (4 N, Kwadran Bele, 2011).

Dunia ini warna-warni. Hidup ini warna-warni. Hidup ini gemerlapan dengan kilauan aneka warna. Hidup ini pesta sementara menuju pesta abadi. Itulah yang dikehendaki PENCIPTA. Kita jangan mencoreng indahnya warna-warni hidup ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun