Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Rambu-rambu dari Sudut Pandang Filsafat

17 Juli 2020   13:07 Diperbarui: 17 Juli 2020   13:04 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Rambu-rambu yang paling mudah dan murah itu pakai ranting kayu. Kami di pedalaman Pulau Timor, di kalangan suku Buna' ada istilah, 'hewa' artinya tanda, 'hewa lai' artinya taruh tanda. Di hutan, banyak lorong simpang siur, dan ranting apa pun saja yang dekat, dipatahkan dan diletakkan di tengah jalan setapak itu, ujung ranting itu menandakan arah yang harus diikuti oleh orang yang datang kemudian. Orang terdahulu berkehendak baik terhadap orang yang datang kemudian agar tidak salah arah atau tersesat dan terlambat atau tidak sampai ke tujuan, padahal tujuan sama.

Di zaman modern ini rambu-rambu lalu-lintas di pasang di mana-mana mulai dari yang sederhana, sampai ke yang paling canggih dengan listrik yang menandakan berhenti, berjalan terus atau hati-hati. Larangan pun ditandai dengan rambu-rambu. Semua ini dipahami terlebih oleh para pengemudi kendaraan bermotor. Ini untuk keselamatan diri dan orang lain, keselamatan bersama. Semua kita mengerti bahwa rambu-rambu lalu-lintas mempunyai daya ikat, melarang dan menyuruh, mengawasi dan mengarahkan. Multi fungsi. Tergantung dari orang yang memasang dan yang melihat.

Bayangkan kalau lalu-lintas tanpa rambu-rambu, terutama lalu-lintas di jalur ramai. Rambu-rambu mempunyai peranan besar sekali, menyangkut nyawa manusia. Ikut selamat, langgar celaka. Kalau sudah ada rambu-rambu tidak bisa setiap kita ikut kita punya mau. Harus taat. Ada kebiasaan, rambu-rambu itu dianggap benda mati, ditaati kalau ditambah dengan polisi yang berdiri mengawasi. Itulah sifat pengguna jalan yang kepala batu.

NAFSU manusialah yang dikekang dengan rambu-rambu. Mau cepat, boleh. Tapi ada larangan. Ini pergulatan antara NAFSU yang mempunyai kecenderungan untuk cepat dan kecenderungan untuk taat. NALAR mengerti dengan sangat jelas makna rambu-rambu yang terpasang di depan dan NALURI pun bergaung menggemakan isyarat adanya orang lain yang perlu dijaga keselamatannya. NURANI memuji kalau taat, menegur kalau langgar. Empat unsur dalam diri manusia, 4N,  bekerja serentak tanpa hitungan detik untuk menanggapi makna rambu-rambu, larangan yah larangan, suruhan yah suruhan. (Kwadran Bele, 2011).

Rambu-rambu untuk hidup ini rupa-rupa, semuanya demi keselamatan, kebahagiaan manusia. Rambu-rambu adat, hukum, agama, ada untuk manusia demi keselamatan manusia itu sendiri. Banyak kerusuhan, keresahan, kekerasan, kematian yang sebenarnya tidak perlu terjadi tapi terjadi karena rambu-rambu hidup tidak diindahkan oleh kita manusia. Rambu-rambu untuk hidup ini dijaga dengan ketat oleh mereka yang dinamakan tua-tua, baik adat maupun agama. Pada saatnya kita akan mengalami malapetaka total kalau kita semua tidak lagi menaati rambu-rambu hidup, yaitu: Cinta Kasih. yang diletakkan oleh PENCIPTA dalam diri kita manusia sebagai hukum yang pertama dan utama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun