Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Arif dari Sudut Filsafat

12 Juli 2020   12:49 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:01 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Arif bijaksana. Setiap manusia itu arif, setiap manusia itu bijaksana. Bahwa kadang-kadang berpikir bodoh, berkata bodoh, berbuat bodoh, itu satu kelalaian, bukan pada dasarnya manusia itu bodoh. 

Pada dasarnya manusia itu dari kodratnya  arif. Manusia sudah dilengkapi dari kodratnya oleh Pencipta, kearifan, ini masuk dalam unsur NALAR, bahagian tak terpisahkan dari tiga unsur yang lain, NAFSU, NALURI, NURANI (Kwadran Bele, 2011, 4 N). 

Ada pelecehan, kearifan lokal. Memangnya ada kearifan regional, nasional dan internasional? Kearifan ada tingkat-tingkat semacam itu? Tidak benar. Kearifan yah kearifan, manusia yang arif, dan namanya manusia, entah di hutan, di desa, di kota metropolitan, sama, dia arif sesuai zamannya, sesuai lingkungannya. 

Seorang ilmuwan hebat, profesor,  yang bisa dikatakan sangat arif, bisa mati di hutan belantara, sedangkan penduduk asli di hutan itu bisa bertahan hidup, karena profesor arif di kota, di laboratorium tapi belum tentu dia arif di hutan. 

Orang yang biasa hidup di hutan tahu apa yang harus dimakan, daun-daunan apa, buah-buahan apa, dan dia arif untuk lindungi tubuhnya dari serangan nyamuk dengan lumpur atau lumuran kunyahan dedaunan tertentu. 

Ini bukan kearifan hutan, kearifan lokal, tapi kearifan, yah kearifan. Dia biar di hutan, dia arif dan dia hidup. Profesor di hutan kehilangan arifnya dan mati. Ibarat ikan, hidup di air mati di darat.  

Jangan banggakan diri arif sambil merendahkan orang lain kurang arif, tidak arif. Manusia arif sesuai pertumbuhan usia, keadaan lingkungan dan kesempatan untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Manusia ada dalam dirinya, bahagian yang disebut NAFSU. Dalam Nafsu inilah terletak dorongan untuk hidup dan supaya hidup ada dorongan untuk makan, minum, lindungi diri dengan pakaian dan perumahan. Ini perlu arif. Manusia itu arif dalam membedakan jenis tanaman mana beracun mana tidak beracun dan dapat dimakan. Ini yang namanya arif sesuai Nafsu. 

Dalam diri manusia ada Nafsu untuk berketurunan. Biar hidup di hutan sekalipun sebagai 'manusia hutan', yang oleh ilmuwan di bidang Anthropologi disebut 'manusia primitif', manusia ini ada kearifan dalam menyalurkan Nafsunya untuk kawin, meneruskan keturunan. 

Cara mereka kawin, menyalurkan Nafsu seks, ini kearifan yang tidak perlu dipelajari melalui kursus tentang seksologi. Nafsu itu dengan sendirnya terarah secara arif karena sudah ada dalam diri manusia itu ada bahagian yang lain, NALAR. 

Dalam bahagian Nalar ini manusia itu arif untuk menimba pengalaman dan pengetahuan. Nafsu mencari makanan diatur oleh Nalar sehingga di hutan dia bertahan hidup, ikan ditangkap di sungai, keladi digali di hutan, burung ditangkap dengan jerat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun