Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jujur dari Sudut Filsafat

10 Juli 2020   11:33 Diperbarui: 10 Juli 2020   12:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jujur itu satu kata yang langka akhir-akhir ini. Karena tindakannya pun langka. Anak jujur, orang tua jujur, suami jujur, isteri jujur, masyarakat jujur, pemerintah jujur. Ini idealnya. Kenyataannya lain. Antara kenyataan, pikiran, omongan, perbuatan sejalan, itulah kejujuran. Kenyataan itu masuk ranah NAFSU. Pikiran itu masuk wilayah NALAR. Omongan itu wilayah NALURI. Perbuatan itu sudah masuk wilayah NURANI. Jadi jujur itu ada kesesuaian antara 4 N, NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI. (Kwadran Bele, 2011).

Contoh: Makan. Saya mau makan, NAFSU. Makan apa, pilih, NALAR. Makan sendiri atau bersama orang lain, makan saya punya makanan bukan orang lain punya,  NALURI. Makan dengan tenang dang senang, sambil bersyukur pada Tuhan. NURANI. Ini yang namanya makan dengan jujur. 

Makan kenyang,  senang, tenang. Ada keselarasan antara barang, makanan dengan diri saya yang nikmati sesuai Nafsu saya, Nalar saya, Naluri saya dan Nurani saya. Ini ukuran jujur itu apa. Jujur itu sederhana sekali, makan yah makan. Ini contoh sangat sederhana tentang apa itu jujur.

Manusia jujur. Gampang hidup bersama orang lain. Otaknya tidak miring. Omong apa adanya. Perasaannya tenang. Tidak gelisah. Tidak susah. Disusahkan? Bisa dan biasa. Menyusahkan? Tidak.

Manusia jujur tidak menjadi orang yang berbahaya bagi orang lain. Perut sudah kenyang yah, kenyang, jangan isi lagi. Tapi karena lihat makanan enak yang lain, tambah terus. Ini tidak jujur pada diri sendiri, akibatnya perut sakit karena kelebihan isi. Ini yang namanya NAFSU ada dan tidak dikendali oleh NALAR.

Seharusnya NALAR memberi peringatan untuk cukup dan berhenti makan. Ini tidak jujur dengan NALAR. Lalu sementara makan berlebihan padahal ada orang lain kekurangan, malah tidak ada apa-apa untuk dimakan. Orang yang makan berlebihan ini tidak jujur terhadap sesama. Ini menciderai NALURI. Apalagi kalau yang dimakan itu hasil curian hak orang lain.

Heran, ada orang yang bisa berfoya-foya dengan makan apa saja yang paling enak dan paling mahal padahal duit yang dia pakai untuk beli makanan yang luks itu duit orang lain yang dia ambil secara paksa atau secara sembunyi-sembunyi.

Secara NALURI, ini yang dikatakan tidak jujur terhadap masyarakat. Lebih ngeri lagi, hati orang itu tetap tenang malah ucap syukur lagi kepada Tuhan atas rezeki yang diperoleh. Rezeki? Curi dikatakan rezeki? Ini soal NURANI. Tidak jujur terhadap YANG di ATAS. 

Jujur itu teratur dalam NAFSU. Terukur dalam NALAR. Tersalur dalam NALURI. Terlebur dalam NURANI. Ada kepuasan dalam NAFSU. Ada kelegaan dalam NALAR. Ada kelegaan dalam NALURI. Ada keheningan dalam NURANI.

Alangkah indahnya hidup ini kalau setiap orng jujur pada diri dan sesama dan itulah yang dikehendaki oleh YANG MAHA TINGGI.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun