Mohon tunggu...
Achmat Heri Dwijuwono
Achmat Heri Dwijuwono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tinggal di Gunungkidul, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setelah Menyemai Angin, Bersiaplah Menuai Badai

20 Februari 2019   11:28 Diperbarui: 16 Maret 2019   03:52 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setelah Menyemai Angin, Bersiaplah Menuai Badai | pixabay.com

Dalam kondisi dan situasi tertentu, misalnya saat sedang suntuk akibat kelelahan fisik maupun mental, adakalanya kita sangat tergoda. Untuk membiarkan diri hanyut. Dalam hasrat untuk meledak. Oleh segala macam pemicu. Yang remeh-temeh. Yang konyol. Yang tak masuk akal.

Sebuah tindakan dalam komunikasi pribadi maupun sosial yang bernama "diam" bisa menjadi penentu nasib orang. Aksi "tutup mulut" yang dilakukan secara berkesadaran pada momen kritis bisa menjadi  penentu status hubungan. Dan jenis interaksi yang mungkin dibangun. Di antara sesama warga yang menjadi pembentuk satu satuan sosial. Mulai dari yang berupa satu pasangan, satu keluarga, satu suku, satu bangsa, hingga yang mewujud sebagai satu spesies manusia.

Bangsa-bangsa yang telah ribuan tahun turun-temurun menghuni bumi pasti merekam pengalaman mereka memakan asam dan garam kehidupan. Digambar di gua-gua sebagai lukisan dinding. Ditatahkan di batu sebagai prasasti. Diukir di dinding candi sebagai relief. Diguratkan di tulang-belulang, batang kayu, dan pelepah-pelepah sebagai babad. Dan diwejangkan secara tutur-tinular sebagai ujar-ujar dan pepatah. 

Nenek moyang kita mewariskan rekaman kearifan hidup itu kepada siapa saja yang menjadi anak cucunya. Yang bersedia memperhatikan dan menyimpan di dalam hati. Itulah sebabnya ada ujaran relevan di dalam diri yang otomatis terpicu setiap kali kita menjumpai atau mengalami peristiwa tertentu. 

Tong kosong nyaring bunyinya terpicu saat berjumpa dengan manusia sok tahu. Yang menjelaskan tentang apa saja seolah Maha Tahu itu. Yang nada bicaranya menggurui sekali itu. Yang sekali diberi kesempatan bicara, tak bisa lagi disuruh diam itu. 

Misalnya anak muda yang dijadikan bulan-bulanan warga di media sosial itu. Lantas lelaki tua bijaksana yang dihinanya mengajak semua orang memberi permaafan dan ruang permakluman. Menyatakan bahwa peristiwa itu tak perlu dibesar-besarkan. Sebab yang terjadi hanyalah kasus keterpelesetan bahasa alias salah taruh diksi, "diksi untuk ungkapan di ruang privat teledor diletakkan di ruang publik". 

Contoh yang lain ditampilkan oleh anak muda lainnya. Yang juga kurang piknik di dunia bahasa. Membaca puisi dan menafsirinya sebagai prosa. Lalu inginnya memaksa semua orang, menggunakan ancaman tuntutan hukum bagi yang tak mau, untuk mengikuti ikhtiarnya. Memberangus kekayaan daya ungkap bahasa. Dan memerosotkan diri menjadi manusia yang luar biasa dungu berbahasa. Seperti dirinya.

Mulutmu harimaumu terbersit ketika ada seorang anak yang dihajar oleh kawannya karena telah berlaku lancang mulut. Tersebab merasa sudah cukup akrab, mengira bakal oke-oke saja mengganti nama kawannya itu dengan nama margasatwa yang dia pilihkan. 

Juga, ketika ada sekelompok orang mulai membuat julukan terhadap kelompok orang lainnya dan dibalas dengan julukan sejenis. Yang dengan itu secara resmi dimulailah upacara saling balas. Balas tudingan. Balas alasan. Balas pantun. Balas acungan jari tengah. Dan balas lain-lainnya. Antara kelompok kecebong dan kelompok kampret itu. Yang bikin gaduh negeri ini. Sejak saat itu. Hingga hari ini. Sampai entah kapan nanti.

Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna tergumam sewaktu membaca koran yang mewartakan penyesalan seorang suami mengucap talak tiga kepada istrinya. Yang kini menjadi janda. Yang dengan sigap dipersunting lelaki lain yang lebih pakem rem mulutnya. Padahal tak ada yang bisa mengisi ruang kosong yang diam-diam selama ini berisi perempuan terindah itu. Yang terlanjur diceraikannya gara-gara cemburu buta itu. Yaitu seluruh ruang yang ada di dalam hatinya. 

Ya. Kondisi tragis yang kini membuatnya hanya bisa berandai-andai. Andai dulu ia tidak kebelet memproklamasikan diri sebagai duda. Andai dulu ia tidak mengamini hasutan nafsu. Contoh lain pembersit pepatah ini tentu banyak sekali. Baca saja koran. Setiap hari pasti ada yang mewartakan liputan jenis ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun