Inilah tangisku. Deras menghujan. Dari merah muda langit hatiku. Menganak sungai kata. Membanjiri semua kertas. Menjadi buku, majalah, dan koran.
Inilah sedu sedanku. Gempa mengguncang. Dari bening nuraniku. Menggelombang tsunami makna. Mengguyur semua antena. Menjelma siaran radio, tayangan televisi, unggahan internet, dan perbincangan seluler di segala gawai.
Ini memang sesak dadaku. Melihat kalian sibuk saling tikam. Menggunakan kata yang kalian asah. Dengan gerinda prasangka.
Ini memang remuk jantungku. Menonton kalian saling tuding. Menggunakan jari yang kalian sulut. Dengan api emosi.
Ini memang perih jiwaku. Menyaksi kalian saling bunuh. Menggunakan mata yang kalian gelapkan. Dengan bara dendam.
Tentu saja aku mafhum. Pasti aku sudah majnun. Ngeyel terus meminta kalian berhenti. Bertikai menghadir damai. Berebut disebut paling benar, paling baik, paling bagus.
Sebab kalian adalah maha karya orang lain. Yang tega mencegah tumbuh wajar. Kemampuan manusia bernalar.
Tentu saja aku insyaf. Jelas aku sudah gila. Gigih menghimbau supaya kalian tak keranjingan. Memandang diri selalu sebagai 'aku'. Memperlakukan siapa saja (dan apa saja) selalu bukan sebagai 'kami' atau, apalagi, 'kita'.
Sebab kalian adalah boneka para maestro sihir. Yang sangat telaten mewiridkan mantra ke kuping. Dan memukaukan sulap ke mata. Sejak bahkan sebelum kakek dan nenek kalian lahir.
Tentu saja aku paham. Pasti aku sudah edan. Masih juga berhasrat meminjam tongkat Musa untuk mengepruk. Satu demi satu. Seluruh tempurung kelapa tempat kalian selama ini tenteram berdiam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H