Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Di kamar yang hanya diterangi lampu tidur, aku duduk mematung di kursi dekat jendela. Tangan menggenggam botol susu yang belum sempat aku berikan kepada anakku, Arsa, yang tengah terlelap di ranjang kecilnya. Tubuhku lelah, tetapi pikiranku lebih kacau. Setiap suara kecil darinya membuatku tegang. Aku takut salah. Aku takut gagal. Aku merasa... tidak cukup baik.
Terdengar suara langkah kaki mendekat dari luar kamar. Aku tahu itu ibu mertuaku. Aku langsung merapikan posisi duduk, mencoba terlihat lebih santai. Pintu kamar terbuka perlahan.
"Arsa udah tidur?" tanya ibu mertua dengan nada yang lembut, tetapi entah kenapa selalu terasa menekan di telingaku.
Aku mengangguk pelan. "Baru saja."
Dia mendekat, menatap wajah cucunya yang pulas, lalu beralih menatapku. "Kamu kelihatan capek, Danar. Apa kamu makan siang tadi?"
Aku hanya menjawab dengan gumaman pendek. Fokusku kembali ke botol susu yang kini terasa seperti beban di tanganku.
"Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Jangan semuanya dipendam sendiri," katanya lagi, sebelum meninggalkan kamar.
Aku ingin berteriak saat itu. Bukannya aku tidak mau meminta bantuan. Tapi siapa yang bisa benar-benar mengerti apa yang aku rasakan? Bahkan istriku sendiri, Anisa, sepertinya tidak paham. Dia sibuk memulihkan diri pasca melahirkan. Aku tidak mau menambah bebannya dengan keluhanku.
---
Pagi harinya, suasana rumah terasa seperti medan perang. Arsa menangis terus-menerus sejak subuh. Anisa mencoba menenangkannya, tetapi usahanya sia-sia. Aku yang sedang mencoba menghangatkan susu, kehilangan kesabaran.
"Kenapa dia nangis terus sih? Apa yang salah?" tanyaku dengan nada lebih tinggi dari yang seharusnya.