Aku memintal rindu dari sisa-sisa hening,
di sudut waktu yang tak lagi ramah.
Rindu itu, benang-benang halus,
mengikat napas pada ruang yang tak teraba.
Malam menjadi kanvas,
tempat kenangan kau lukis tanpa warna.
Sepi menyeruak, seperti embun di ujung daun,
tak bersuara, namun menusuk lembut.
Di antara jeda langkah,
ada bisik yang tak pernah sampai.
Seperti surat tanpa alamat,
atau hujan yang gugur di padang pasir.
Aku mencari suaramu,
di sela angin yang melintasi jendela,
menggenggam bayang yang tak lagi utuh,
memeluk wangi yang hanya tinggal samar.
Adakah kau juga menganyam rindu,
dari serpih sunyi yang kita tinggalkan?
Atau telah kau biarkan benang itu kusut,
tak lagi mampu menahan beban cerita kita?
Aku memintal rindu ini hingga usang,
hingga waktu berhenti berbisik.
Namun, apa arti anyaman ini,
jika kau tak pernah kembali menjadikannya nyata?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H