Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terompet untuk Tiga Malaikat

6 Desember 2024   12:19 Diperbarui: 6 Desember 2024   13:22 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pinterest.com/pin/545568942365602008/


"Pak, aku mau yang warna biru!"
Suara Fira, anak bungsuku, memecah kebisuan malam itu. Aku menoleh ke arahnya, melihat matanya yang berbinar penuh harap.

"Nanti, kalau Bapak sudah punya uang, ya," jawabku sambil merapikan deretan terompet di lapakku yang sederhana di pinggir jalan. Hawa dingin akhir tahun menyelimuti kami, tapi aku tidak bisa berhenti bekerja.

Fira mengangguk kecil, meski kekecewaan jelas terlihat di wajahnya. Aku tahu, ia tidak sepenuhnya paham kenapa aku harus terus memutar otak untuk memenuhi permintaan kecil seperti itu. Anak-anak lain mungkin dengan mudah mendapat hadiah dari orang tua mereka, tapi untukku, setiap rupiah adalah perjuangan.

Baca juga: Akhir November

Anak-anakku Fira, Dimas, dan Sari adalah alasan aku tetap berdiri di sini malam demi malam. Sebagai penjual terompet musiman, akhir tahun adalah waktu terbaik untuk mengais rezeki lebih. Namun, ada rasa sesak setiap kali aku memandangi wajah mereka yang penuh harap.

Setiap tiupan terompet yang memecah malam, ada kenangan yang ikut terhembus kenangan tentang ibu mereka. Sosok yang dulu mengisi rumah kami dengan tawa, kini hanya tersisa dalam bayangan samar.

"Ibu kapan pulang, Pak?" tanya Fira kemarin malam, suara kecilnya menusuk lebih dalam dari udara dingin yang merayap di sela-sela jaketku. Aku hanya bisa menjawab dengan senyuman lemah, pura-pura sibuk memperbaiki talang bocor.

Sebenarnya, aku pun tak tahu. Ibu mereka pergi tanpa pesan, hanya meninggalkan secarik kertas yang isinya tak sanggup kubaca ulang. Alasannya mencari kebebasan—kata itu terus menghantui pikiranku. 

Setiap kali menatap mata anak-anak, aku bertarung dengan diriku sendiri. Aku ingin membenci dia yang memilih meninggalkan kami, tapi aku juga merindukannya. Bagaimana mungkin aku bisa membenci seseorang yang telah memberikan tiga permata berharga dalam hidupku?

Semilir angin malam kembali mengingatkanku untuk terus bertahan, meski luka di hatiku tak kunjung sembuh. Karena, aku tahu, aku adalah satu-satunya tempat mereka bergantung.

Tahun ini, aku berjanji. Aku ingin mereka merasakan sesuatu yang istimewa di penghujung tahun. Tidak ada yang mewah, hanya hadiah kecil untuk membuat mereka tersenyum. Tapi mewujudkannya bukanlah perkara mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun