Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terompet untuk Tiga Malaikat

6 Desember 2024   12:19 Diperbarui: 6 Desember 2024   13:22 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Pak, aku mau yang warna biru!"
Suara Fira, anak bungsuku, memecah kebisuan malam itu. Aku menoleh ke arahnya, melihat matanya yang berbinar penuh harap.

"Nanti, kalau Bapak sudah punya uang, ya," jawabku sambil merapikan deretan terompet di lapakku yang sederhana di pinggir jalan. Hawa dingin akhir tahun menyelimuti kami, tapi aku tidak bisa berhenti bekerja.

Fira mengangguk kecil, meski kekecewaan jelas terlihat di wajahnya. Aku tahu, ia tidak sepenuhnya paham kenapa aku harus terus memutar otak untuk memenuhi permintaan kecil seperti itu. Anak-anak lain mungkin dengan mudah mendapat hadiah dari orang tua mereka, tapi untukku, setiap rupiah adalah perjuangan.

Baca juga: Akhir November

Anak-anakku Fira, Dimas, dan Sari adalah alasan aku tetap berdiri di sini malam demi malam. Sebagai penjual terompet musiman, akhir tahun adalah waktu terbaik untuk mengais rezeki lebih. Namun, ada rasa sesak setiap kali aku memandangi wajah mereka yang penuh harap.

Setiap tiupan terompet yang memecah malam, ada kenangan yang ikut terhembus kenangan tentang ibu mereka. Sosok yang dulu mengisi rumah kami dengan tawa, kini hanya tersisa dalam bayangan samar.

"Ibu kapan pulang, Pak?" tanya Fira kemarin malam, suara kecilnya menusuk lebih dalam dari udara dingin yang merayap di sela-sela jaketku. Aku hanya bisa menjawab dengan senyuman lemah, pura-pura sibuk memperbaiki talang bocor.

Sebenarnya, aku pun tak tahu. Ibu mereka pergi tanpa pesan, hanya meninggalkan secarik kertas yang isinya tak sanggup kubaca ulang. Alasannya mencari kebebasan—kata itu terus menghantui pikiranku. 

Setiap kali menatap mata anak-anak, aku bertarung dengan diriku sendiri. Aku ingin membenci dia yang memilih meninggalkan kami, tapi aku juga merindukannya. Bagaimana mungkin aku bisa membenci seseorang yang telah memberikan tiga permata berharga dalam hidupku?

Semilir angin malam kembali mengingatkanku untuk terus bertahan, meski luka di hatiku tak kunjung sembuh. Karena, aku tahu, aku adalah satu-satunya tempat mereka bergantung.

Tahun ini, aku berjanji. Aku ingin mereka merasakan sesuatu yang istimewa di penghujung tahun. Tidak ada yang mewah, hanya hadiah kecil untuk membuat mereka tersenyum. Tapi mewujudkannya bukanlah perkara mudah.

Malam semakin larut. Jalanan mulai ramai dengan suara klakson dan tawa orang-orang yang merayakan malam pergantian tahun. Di sisi lain, dingin semakin menggigit tulangku. Aku melirik jam tangan tua yang talinya hampir putus—sudah pukul sepuluh.

"Pak, ini berapa?"
Seorang pria muda menghampiri lapakku, menunjuk terompet dengan hiasan emas di ujungnya.

"Lima belas ribu, Mas."
Pria itu mengangguk dan mengeluarkan uang. Setelah transaksi selesai, aku memasukkan uang ke dalam kantong. Tidak banyak, tapi cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih ringan.

Namun, ada yang aneh malam itu. Tidak seperti biasanya, jumlah pembeli jauh lebih sedikit. Beberapa kali aku hanya berdiri tanpa aktivitas apa pun, melihat orang-orang berlalu-lalang dengan membawa terompet yang mereka beli dari lapak lain.

Di sisi lain jalan, ada penjual terompet yang lebih muda dan menawarkan harga lebih murah. Aku tahu sulit bersaing, tapi aku tidak punya pilihan selain bertahan di tempatku.

Pukul sebelas lewat lima belas menit. Aku menatap ke arah terompet-terompet yang tersisa. Jumlahnya masih terlalu banyak. Jika tidak terjual, aku tidak akan punya cukup uang untuk membeli hadiah akhir tahun untuk anak-anakku.

Aku termenung, mengingat percakapan dengan Sari tadi pagi.

"Bapak, tahun ini aku boleh minta boneka, nggak? Yang kecil aja. Teman-temanku di sekolah punya semua."
Suaranya terdengar begitu polos, tapi aku tahu ada rasa iri di baliknya.

"Bapak coba, ya, Nak. Kalau jualannya laris, pasti Bapak beliin."
Ia mengangguk penuh semangat. Aku tahu ia percaya padaku. Dan itulah yang membuatku merasa semakin berat.

Dari kejauhan, aku melihat sekelompok anak muda berjalan ke arahku. Harapan kembali muncul. Tapi langkah mereka terhenti di lapak sebelah. Aku hanya bisa menatap tanpa daya, merasakan dingin yang semakin menyiksa.

Tiba-tiba, seorang lelaki tua menghampiriku. Bajunya lusuh, dan ia membawa sebuah tas kain yang terlihat sudah usang.

"Terompetnya berapa, Pak?" tanyanya dengan suara serak.

"Lima belas ribu, Pak," jawabku.

Lelaki itu mengeluarkan beberapa lembar uang lusuh dari sakunya.

"Saya beli satu. Yang ini, ya?" Ia menunjuk terompet biru yang tadi dipilih Fira.

Aku mengangguk dan menyerahkan terompet itu kepadanya.

Setelah lelaki itu pergi, aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Uang yang ia berikan... terlalu banyak. Aku menghitung ulang. Tiga ratus ribu rupiah.

Aku bingung. Ketika aku mencoba mencarinya, lelaki itu sudah menghilang di antara kerumunan.

Aku pulang dengan hati bercampur aduk. Uang itu lebih dari cukup untuk membeli hadiah untuk anak-anakku, tapi aku merasa ada yang ganjil. Siapa lelaki itu? Kenapa ia membayar jauh lebih banyak?

Saat aku tiba di rumah, ketiga anakku sudah tertidur. Aku menatap wajah mereka satu per satu, merasakan kehangatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku tahu aku tidak sempurna, tapi mereka adalah dunia bagiku.

Aku mengeluarkan uang hasil jualan malam itu dan mulai menghitung. Totalnya cukup untuk membeli boneka untuk Sari, mobil-mobilan untuk Dimas, dan tas sekolah baru untuk Fira.

Keesokan paginya, aku pergi ke pasar untuk membeli hadiah. Aku memilih dengan hati-hati, memastikan setiap barang adalah yang terbaik untuk mereka.

Ketika aku pulang, anak-anak sudah menunggu dengan antusias.

"Ini buat Fira, ini buat Dimas, dan ini buat Sari," kataku sambil menyerahkan hadiah mereka.

Wajah mereka langsung berbinar. Fira memelukku erat, Sari melompat kegirangan, dan Dimas langsung mencoba mobil-mobilannya.

“Terima kasih banyak, Pak!” seru Fira dengan mata berbinar, memelukku erat seolah tak ingin melepaskan. Sari, di sebelahnya, melompat-lompat kegirangan sambil berkata, “Ini hadiah terbaik yang pernah aku dapat!” Sementara itu, Dimas tak menunggu lama, langsung duduk di lantai dan mulai mencoba mobil-mobilannya, matanya penuh antusiasme. “Lihat, Pak! Mobilnya bisa mundur juga!” katanya sambil tertawa riang.

Aku ikut tertawa sambil membuka kantong untuk mengambil sisa uang. Di dalamnya aku menemukan sebuah catatan kecil. Tulisan tangan yang rapi namun sedikit goyah:

"Untuk malaikat kecilmu. Dari seseorang yang tahu bagaimana rasanya berjuang sendirian."

Aku tertegun. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. Aku tidak pernah tahu siapa lelaki itu, tapi aku tahu satu hal: kebaikannya telah memberi kami sebuah akhir tahun yang tidak akan pernah kami lupakan.

Fira menghampiriku dan memelukku erat.

"Bapak, kenapa nangis?" tanyanya polos.

Aku hanya menggeleng dan membelai kepalanya.

"Tidak apa-apa, Nak. Bapak cuma bersyukur."

------ 

F. Dafrosa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun