"Terompetnya berapa, Pak?"Â tanyanya dengan suara serak.
"Lima belas ribu, Pak,"Â jawabku.
Lelaki itu mengeluarkan beberapa lembar uang lusuh dari sakunya.
"Saya beli satu. Yang ini, ya?"Â Ia menunjuk terompet biru yang tadi dipilih Fira.
Aku mengangguk dan menyerahkan terompet itu kepadanya.
Setelah lelaki itu pergi, aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Uang yang ia berikan... terlalu banyak. Aku menghitung ulang. Tiga ratus ribu rupiah.
Aku bingung. Ketika aku mencoba mencarinya, lelaki itu sudah menghilang di antara kerumunan.
Aku pulang dengan hati bercampur aduk. Uang itu lebih dari cukup untuk membeli hadiah untuk anak-anakku, tapi aku merasa ada yang ganjil. Siapa lelaki itu? Kenapa ia membayar jauh lebih banyak?
Saat aku tiba di rumah, ketiga anakku sudah tertidur. Aku menatap wajah mereka satu per satu, merasakan kehangatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku tahu aku tidak sempurna, tapi mereka adalah dunia bagiku.
Aku mengeluarkan uang hasil jualan malam itu dan mulai menghitung. Totalnya cukup untuk membeli boneka untuk Sari, mobil-mobilan untuk Dimas, dan tas sekolah baru untuk Fira.
Keesokan paginya, aku pergi ke pasar untuk membeli hadiah. Aku memilih dengan hati-hati, memastikan setiap barang adalah yang terbaik untuk mereka.