Malam semakin larut. Jalanan mulai ramai dengan suara klakson dan tawa orang-orang yang merayakan malam pergantian tahun. Di sisi lain, dingin semakin menggigit tulangku. Aku melirik jam tangan tua yang talinya hampir putus—sudah pukul sepuluh.
"Pak, ini berapa?"
Seorang pria muda menghampiri lapakku, menunjuk terompet dengan hiasan emas di ujungnya.
"Lima belas ribu, Mas."
Pria itu mengangguk dan mengeluarkan uang. Setelah transaksi selesai, aku memasukkan uang ke dalam kantong. Tidak banyak, tapi cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih ringan.
Namun, ada yang aneh malam itu. Tidak seperti biasanya, jumlah pembeli jauh lebih sedikit. Beberapa kali aku hanya berdiri tanpa aktivitas apa pun, melihat orang-orang berlalu-lalang dengan membawa terompet yang mereka beli dari lapak lain.
Di sisi lain jalan, ada penjual terompet yang lebih muda dan menawarkan harga lebih murah. Aku tahu sulit bersaing, tapi aku tidak punya pilihan selain bertahan di tempatku.
Pukul sebelas lewat lima belas menit. Aku menatap ke arah terompet-terompet yang tersisa. Jumlahnya masih terlalu banyak. Jika tidak terjual, aku tidak akan punya cukup uang untuk membeli hadiah akhir tahun untuk anak-anakku.
Aku termenung, mengingat percakapan dengan Sari tadi pagi.
"Bapak, tahun ini aku boleh minta boneka, nggak? Yang kecil aja. Teman-temanku di sekolah punya semua."
Suaranya terdengar begitu polos, tapi aku tahu ada rasa iri di baliknya.
"Bapak coba, ya, Nak. Kalau jualannya laris, pasti Bapak beliin."
Ia mengangguk penuh semangat. Aku tahu ia percaya padaku. Dan itulah yang membuatku merasa semakin berat.
Dari kejauhan, aku melihat sekelompok anak muda berjalan ke arahku. Harapan kembali muncul. Tapi langkah mereka terhenti di lapak sebelah. Aku hanya bisa menatap tanpa daya, merasakan dingin yang semakin menyiksa.
Tiba-tiba, seorang lelaki tua menghampiriku. Bajunya lusuh, dan ia membawa sebuah tas kain yang terlihat sudah usang.