Saat mengajar materi mengulas karya fiksi di kelas 8, saya mengalami momen menarik yang membuka wawasan tentang perkembangan minat baca generasi muda masa kini. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, saya meminta siswa membaca buku fiksi untuk bahan diskusi. Tak lama, muncul pertanyaan antusias dari salah satu siswa, "Bu, apakah boleh buku online?"
Pertanyaan ini mengundang tawa kecil di kelas, tapi menjadi topik yang justru menarik minat mereka. Saya penasaran, buku online seperti apa yang mereka maksud? Saat saya tanyakan, mereka pun menjawab dengan penuh semangat, "Buku digital, Bu, seperti di Webtoon atau Wattpad!"
Ternyata, beberapa siswa aktif membaca karya-karya di platform digital seperti Webtoon dan Wattpad, dua platform populer yang menyediakan akses ke berbagai karya fiksi dalam bentuk komik dan cerita pendek. Semangat mereka terlihat dari antusiasme yang terpancar ketika membahas genre-genre cerita yang menarik hati. Bagi mereka, membaca melalui layar perangkat tidak mengurangi asyiknya menikmati cerita, dan mereka senang jika diberi kesempatan untuk membaca buku digital sebagai pilihan.
Namun, sebagai guru, saya perlu memastikan bahwa bahan bacaan yang mereka akses sesuai dengan usia mereka. Dalam hal ini, saya memberikan panduan mengenai bacaan yang boleh dibaca agar tetap mendukung pembelajaran dan perkembangan karakter mereka. Meskipun begitu, saya tidak ingin mematahkan semangat mereka untuk membaca, terutama ketika mereka sudah menunjukkan minat yang besar.
Setelah mendengar bahwa membaca buku digital diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, wajah-wajah mereka berbinar. Respons yang muncul begitu positif, dan beberapa siswa bahkan mulai berdiskusi tentang cerita favorit mereka di aplikasi tersebut. Meski ini adalah format baru dalam dunia literasi, saya menyadari bahwa semangat mereka untuk membaca tetap kuat.
Namun, di tengah percakapan tentang buku digital, beberapa siswa lain mengungkapkan pendapat berbeda. Mereka lebih menyukai buku fisik, dan alasannya cukup menarik. Salah satu siswa berkata, “Kalau buku fisik itu lebih enak, Bu. Bisa dipegang langsung, ditandai kalau ada kalimat yang bagus, bahkan bisa diwarnai.”
Siswa yang menyukai buku fisik merasa buku fisik lebih memberi kesan nyata, bisa disentuh, dan bisa menjadi koleksi pribadi yang tersimpan rapi di rak kamar mereka. Mereka juga menyukai aktivitas menandai bagian-bagian penting atau menulis catatan kecil di dalamnya, sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan mudah di buku digital.
Perbedaan preferensi ini mencerminkan bahwa tidak semua siswa generasi saat ini lebih memilih media digital.
Meskipun hidup di era teknologi, buku fisik tetap memiliki daya tarik dan nilai sentimental bagi sebagian dari mereka. Bahkan, beberapa siswa merasa bahwa buku fisik lebih “bernilai” karena bisa dikoleksi dan dirawat seiring waktu.
Ini menunjukkan bahwa dalam era yang serba cepat ini, ada nilai-nilai yang tetap dipertahankan oleh anak-anak. Mereka menghargai buku sebagai benda nyata yang dapat mereka pegang dan nikmati dengan cara yang lebih personal.
Dalam diskusi kelas tersebut, saya menyadari bahwa perbedaan selera membaca tidak menjadi penghalang utama. Hal yang lebih penting adalah semangat mereka untuk membaca tetap terjaga. Terlepas dari format yang mereka pilih – fisik maupun digital – minat membaca mereka masih hidup dan tumbuh. Dengan kemajuan teknologi, pilihan format memang semakin beragam, dan sebagai guru, tugas saya bukan hanya menyediakan akses ke literasi, tetapi juga mendukung minat mereka dengan cara yang relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman.